Jumat, 16 Mei 2008

TRISAKTI YANG TERABAIKAN



  
SERATUS TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL
Kondisi bangsa Indonesia yang tak kunjung mengalami perbaikan di segala bidang sudah berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Semuanya tidak lepas dari memudarnya rasa nasionalisme sebagai kekuatan terbesar yang bersumber pada ajaran Bung Karno, the Faunding Father negara ini. Tri Sakti yang menjadi tujuan pokok ajaran Bung Karno yang ingin mewujudkan kemakmuran, justru diabaikan. Oleh karena itu, menanamkan kembali ajaran Bung Karno sebagai sebuah ideologi dan paltform perjuangan merupakan jalan terbaik untuk memperbaiki kondisi bangsa Indonesia. ----------"

AJARAN Bung Karno hingga kini belum diimplementasikan secara nyata. Bahkan, selama hampir 32 tahun era orde baru, ajaran-ajaran Bung Karno terus saja mengalami proses desoekarnoisasi. Tidak heran kalau kemudian banyak generasi muda yang ada saat ini kehilangan rasa nasionalisme, rasa cinta dan bangga sebagai bangsa dan warga negara Indonesia.

Tujuan utama yang ingin dicapai dari ajaran Bung Karno yakni Tri Sakti malah diabaikan elite politik saat ini. Tri Sakti yang mengamanatkan perwujudan masyarakat Indonesia yang ''Berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam bidang budaya'', nyaris tidak pernah tercapai.

Utang Indonesia yang mencapi 200 milyar dolar AS menunjukkan betapa Indonesia secara ekonomi begitu tergantung kepada pihak luar. Kondisi ini tentu tidak menguntungkan. Sebab, bangsa Indensia tidak lebih menjadi alat pihak luar. Akhirnya karena ketergantungan yang demikian besar ini, bangsa Indonesia pun malah dicekam rasa ketakutan yang sengaja disebar pihak luar, bahkan sedang diadu domba
Kini, semakin marak pendapat perlunya Indonesia melepaskan ketergantungan pada pihak asing dan menjadi bangsa yang mandiri. Pendapat senada juga dikemukakan oleh MUI ketika diterima presiden Megawati Soekarnoputri awal pekan ini. Baik Presiden maupun MUI rupanya punya pandangan sama bagaimana Indonesia nantinya menjadi bangsa mandiri dan berdikari (berdiri diatas kaki sendiri).

Politik berdikari menjadi populer setelah Bung Karno memberi judul pidatonya 17 Agustus 1965: ‘Tahun Berdikari’. Sekalipun prinsip politik berdikari sering dikemukakannya pada tahun-tahun sebelumnya. Dalam pidato 17 Agustus 1964 misalnya, Bung Karno mengemukakan prinsip Trisakti Tavip (Tahun Vivere Pericoloso). Di sini ia menjelaskan tiga prinsip berdikari. Yakni, berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Ketiga-tiganya prinsip berdikari ini, kata Bung Karno, tidak dapat dipisahkan dan dipreteli satu sama lain. Menurutnya, tidak mungkin akan ada kedaulatan dalam politik dan berkepribadian dalam kebudayaan, bila tidak berdirikari dalam ekonomi. Demikian pula sebaiknya.

Dengan berdaulat dalam bidang politik, Bung Karno menginginkan agar bangsa Indonesia benar-benar berdaulat dan tidak bisa didikte oleh siapapun. Di samping itu ia sering menegaskan bahwa bangsa Indonesia tidak akan menjadi bangsa mengemis, lebih-lebih kepada kaum imperalis.

Berdikari dalam ekonomi berarti kita harus bersandar pada dana dan tenaga yang memang sudah ada di tangan kita dan menggunakannya semaksimal-maksimalnya. Tidak boleh lagi terjadi ‘ayam mati dilumbung’, karena tanah air kita kaya raya. Menjelaskan berkepribadian dalam kebudayaan, Bung Karno menegaskan bahwa budaya kita kaya raya yang harus kita gali. Karenanya, ia menganggap tepat sekali diboikotnya film-film Inggris dan AS ketika itu. Juga tepat pemberantasan ‘musik’ The Beattle, literatur picisan, dansa-dansi gila-gilaan. Apa yang dikuatirkan Bung Karno itu kini menjadi kenyataan dengan makin merajalelanya dekadensi moral para muda-mudi.

Melalui Dekon (Deklarasi Ekonomi), sebagai perencanaan pembangunan ekonomi berdiri, Bung Karno meletakkan kedudukan rakyat sebagai sumber daya sosial bagi pembangunan. Ia yakin bahwa rakyat akan menjadi sumber daya ekonomi yang optimal bagi pembangunan bila aktivitas dan kreatifitasnya dikembangkan. Ia tanpa tedeng aling-aling mengecam keras cara-cara text-book thinking. Mengambil begitu saja pemikiran-pemikiran para ahli ekonomi Barat, tanpa memperhatikan kondisi di Indonesia.

Dalam kaitan kerjasama ekonomi dengan negara-negara imperialis, ucapan Bung Karno yang sangat terkenal adalah : “Go to hell with your aid” seringkali ditafsirkan sebagai sikapnya yang usang terhadap bantuan asing, modal asing, bahkan segala yang berbau asing.

Sebenarnya, tidaklah tepat kalau Bung Karno anti bantuan dan modal asing. Karena ketika membangun kompleks stadion utama Senayan dari bantuan Uni Soviet. Sedangkan jembatan Semangi dari Amerika. Tapi, ketika AS mau membantu dengan mengharuskan Indonesia mengikuti politiknya, yang merupakan ikatan, Bung Karno tegas-tegas menolak. Dekon sendiri, yang waktu itu merupakan Manipolnya bidang ekonomi menyatakan, bilamana dengan kekuatan fund and forces nasional tidak mencukupi, maka harus dicarikan kredit luar negeri yang tidak bertentangan dengan politik kita. dalam kaitan politik berdikari ini, sampai-sampai Bung Karno mengkaitkannya dengan kehadiran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Mahkota kemerdekaan suatu bangsa adalah bukan keanggotaan PBB, tetapi berdikari. Bahkan, Bung Karno sejak tahun 1960 nyata-nyata menuduh organisasi dunia ini hanya menguntungkan imperialisme dan merugikan negara-negara berkembang. Pada 1 Januari 1965 Indonesia keluar dari PBB.

Tidak hanya keluar dari PBB, Bung Karno bahkan ingin mengadakan Conefo (Conference of the New Emerging Forces) sebagai tandingan PBB. Untuk itu, ia sudah menyiapkan gedungnya, yang sekarang ini menjadi gedung MPR/DPR. Tapi, tekadnya ini tidak berhasil karena ia jatuh. Kita tidak tahu apa jadinya bila Conefo menjadi kenyataan.

Sedangkan tudingannya terhadap PBB itu kini menjadi kenyataan. Banyak negara, termasuk PM Mahathir Muhammad mengeluhkan karena PBB telah menjadi alat imperialisme Amerika Serikat.

Seperti embargo ekonomi terhadap Irak, sekalipun jutaan bayi menderita dan meninggal dunia, lumpuhnya ekonomi rakyat Irak, dan berbagai penderitaan lainnya, PBB tidak punya kepedulian sedikit pun. Bahkan, ketika Amerika Serikat mengadakan invasi ke Afganistan dengan alasan memerangi terorisme, PBB mendukungnya. Tidak peduli jatuhOrator Ulung
Presiden pertama RI itu pun dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialis-me dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat. “Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat,” kata Bung Karno, dalam karyanya ‘Menggali Api Pancasila’. Suatu ungkapan yang cukup jujur dari seorang orator besar.

Gejala berbahasa Bung Karno merupakan fenomena langka yang mengundang kagum banyak orang. Kemahirannya menggunakan bahasa dengan segala macam gayanya berhubungan dengan kepribadiannya. Hal ini tercermin dalam autobiografi, karangan-karangan dan buku-buku sejarah yang memuat sepak terjangnya.

Ia adalah seorang cendekiawan yang meninggalkan ratusan karya tulis dan beberapa naskah dra-ma yang mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan tulisannya sudah diterbit-kan dengan judul “Diba-wah Bendera Revolusi”, dua jilid. Jilid pertama boleh dikatakan paling menarik dan paling penting karena mewakili diri Soekarno sebagai Soekarno.

Dari buku setebal kira-kira 630 halaman tersebut tulisan pertama yang bermula dari tahun 1926, dengan judul “Nasionalis-me, Islamisme, dan Marxisme” adalah paling menarik dan mungkin paling penting sebagai titik-tolak dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya, seorang pemuda berumur 26 tahun.

Di tengah kebesarannya, sang orator ulung dan penulis piawai, ini selalu membutuhkan dukungan orang lain. Ia tak tahan kesepian dan tak suka tempat tertutup.

Di akhir masa kekuasaannya, ia sering merasa kesepian. Dalam autobiografinya yang disusun oleh Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat itu, bercerita. “Aku tak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di larut malam, aku menelepon seseorang yang dekat denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, ‘Bandrio datanglah ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah.... Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah.”

Dalam bagian lain disebutkan, “Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil... Seringkali pikiran oranglah yang berubah-ubah, bukan pikiranmu... Mereka turut menciptakan pulau kesepian ini di sekelilingmu.”

Anti Imperialisme
Pada 17 Mei 1956. Bung Karno mendapat kehormatan menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat. Sebagaimana dilaporkan New York Times (halaman pertama) pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih ia menyerang kolonialisme.“Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme, telah berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Tetapi, perjuangan itu masih belum selesai. Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati kemerdekaan?” pekik Soekarno ketika itu.

Hebatnya, meskipun pidato itu dengan keras menentang kolonialisme dan imperialisme, serta cukup kritis terhadap negara-negara Barat, ia mendapat sambutan luar biasa di Amerika Serikat (AS). Pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno yang sejak masa mudanya antikolonialisme. Terutama pada periode 1926-1933, semangat antikolonialisme dan anti-imperialisme itu sudah jelas dikedepankannya.

Sangat jelas dan tegas ingatan kolektif dari pahitnya kolonialisme yang dilakukan negara asing yang kaya itu. Namun, kata dan fakta adalah dua hal yang berbeda, dan tak jarang saling bertolak belakang.

Soekarno dan para penggagas nasionalisme lainnya dipaksa bergulat di antara “kata” dan “fakta” politik yang dicoba dirajut namun ternyata tidak mudah, dan tak jarang menemui jalan buntu.

Soekarno yang rajin berkata-kata, antara lain mengenai gagasan besarnya menyatukan kaum nasionalis, agama dan komunis (1926) menemukan kenyataan yang sama sekali bertolak belakang, ketika ia mencobanya menjadi fakta. Begitu pula gagasan besarnya yang lain: marhaenisme, atau nasionalisme marhaenistis, yang matang dikonsepsikan pada tahun 1932. Bahkan, gagasannya mengenai Pancasila.

Tokoh Kontroversial
Sebagai sosok yang memiliki prinsip tegas, Bung Karno kerap dianggap sebagai tokoh kontroversial. Maka tak heran jika dia memiliki lawan maupun kawan yang berani secara terang-terangan mengritik maupun membela pandangannya. Di mata lawan-lawan politiknya di Tanah Air, ia dianggap mewakili sosok politisi kaum abangan yang “kurang islami”. Mereka bahkan menggolongkannya sebagai gembong kelompok “nasionalis sekuler”.

Akan tetapi, di mata Syeikh Mahmud Syaltut dari Cairo, penggali Pancasila itu adalah Qaida adzima min quwada harkat al-harir fii al-balad al-Islam (Pemimpin besar dari gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam). Malahan, Demokrasi Terpimpin, yang di dalam negeri diperdebatkan, justru dipuji oleh syeikh al-Azhar itu sebagai, “lam yakun ila shuratu min shara asy syuraa’ allatiy ja’alha al-Qur’an sya’ana min syu’un al-mu’minin” (tidak lain hanyalah salah satu gambaran dari permusyawaratan yang dijadikan oleh Al Quran sebagai dasar bagi kaum beriman).

Tatkala memuncak ketegangan antara Israel dan negara-negara Arab soal status Palestina ketika itu, pers sensasional Arab menyambut Bung Karno, “Juara untuk kepentingan-kepentingan Arab telah tiba”. Begitu pula, Tahta Suci Vatikan memberikan tiga gelar penghargaan kepada presiden dari Republik yang mayoritas Muslim itu.

Memang, pembelaan Bung Karno terhadap kaum tertindas tidak hanya untuk negerinya namun juga negeri lain. Itulah sebabnya, mengapa ia dipuja habis oleh bangsa Arab yang tengah menghadapi serangan Israel kala itu. Bung Karno dianggap sebagai pemimpin kaum Muslim. Padahal, di dalam negeri sendiri ia kerap dipandang lebih sebagai kaum abangan daripada kaum santri.

Sebenarnya, seberapa religiuskah Bung Karno? Bukankah ia juga dalam konsepsi Pancasila merumuskan sila Ketuhanan Yang Maha Esa? Sila yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan mengakui lima agama. Bagaimana mungkin merangkum visi lima agama itu dalam satu kalimat yang mendasar itu kalau si pembuat kalimat tidak memahami konteks kehidupan beragama di Indonesia secara benar?

Dalam hal ini elok dikutip pendapat Clifford Geertz Islam Observed (1982): “Gaya religius Soekarno adalah gaya Soekarno sendiri.” Betapa tidak? Kepada Louise Fischer, Bung Karno pernah mengaku bahwa ia sekaligus Muslim, Kristen, dan Hindu. Di mata pengamat seperti Geertz, pengakuan semacam itu dianggap sebagai “bergaya ekspansif seolah-olah hendak merangkul seluruh dunia”. Sebaliknya, ungkapan semacam itu-pada hemat BJ Boland dalam The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1982)- “hanya merupakan perwujudan dari perasaan keagamaan sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya Jawa”. Bagi penghayatan spiritual Timur, ucapan itu justru “merupakan keberanian untuk menyuarakan berbagai pemikiran yang mungkin bisa dituduh para agamawan formalis sebagai bidah”.

Sistem Politik
Soekarno memiliki pandangan mengenai sistem politik yang didukungnya adalah yang paling “cocok” dengan “kepribadian” dan “budaya” khas bangsa Indonesia yang konon mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan keselarasan. Dalam retorika, ia mengecam “individualisme” yang katanya lahir dari liberalisme Barat. Individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini terutama dicerminkan oleh pertarungan antarpartai.

Lalu ia mencetuskan Demokrasi Terpimpin. Dalam berpolitik Soekarno mementingkan politik mobilisasi massa, ia bersimpati pada gerakan-gerakan anti-imperialisme, dan mungkin sebagai salah satu konsekuensinya, penerimaannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor politik yang sah, pendukung konsepsi demokrasi terpimpin. Jadi ia mencanangkan sistem politik yang berwatak anti-liberal dan curiga pada pluralisme politik. Ia mementingkan “persatuan” demi “revolusi”.

Pada tahun 1950-an, Indonesia memang ditandai oleh ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh sistem demokrasi parlementer. Sistem ini bersifat sangat liberal, dan didominasi oleh partai-partai politik yang menguasai parlemen. Pemilu 1955-yang dimenangkan empat kekuatan besar, Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) serta PKI- hingga kini masih dianggap sebagai pemilu paling bebas dan bersih yang pernah dilaksanakan sepanjang sejarah Indonesia. Namun, di sisi lain dari sistem parlemen yang dikuasai partai itu adalah sering jatuh bangunnya kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri. Selain itu, sejarah juga mencatat bahwa integritas nasional terus-menerus diancam oleh berbagai gerakan separatis, yakni DI/TI, PRRI/Permesta, dan sebagainya.

Kenyataan ini membuat Soekarno makin curiga pada partai politik karena dia menganggap Masyumi, dan juga PSI, terlibat dalam beberapa pemberontakan daerah.
Kemudian, Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat perdebatan berlarut-larut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan kekuatan Islam mengenai dasar negara.nya banyak korban sipil yang tidak berdosa...... "


Kamis, 15 Mei 2008

BISNIS SETELAH REFORMASI

Bangkitnya Para Penguasa Lama

Setelah sepuluh tahun reformasi, taipan-taipan kakap kembali berkuasa.
Cantelan ke penguasa tak seerat dulu.Lagu Birdland mengentak ruang pertemuan di rumah Arifin Panigoro, kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, awal Maret lalu. The Manhattan Transfer, kuartet vokal asal New York, menyanyikannya di tepi kolam kediaman pendiri Grup Medco itu.…Hey man, the music really turn you on Really? Ya turn me around and turn me on…Perpaduan vokal Cheryl Bentyne, Tim Hauser, Alan Paul, dan Janis Segal membius ratusan tamu malam itu. Hadir di sana antara lain Menteri Perdagangan Mari Pangestu, politikus Eros Djarot, dan pengusaha Peter F. Gontha. Anggota keluarga Panigoro hadir lengkap. Gelas-gelas wine diedarkan.Di ruang dalam, Ron King All Stars Big Band baru saja membawa suasana lain. Pemusik trompet asal California itu memainkan swing. Malam itu Arifin ”membajak” para pemusik internasional sebelum mereka tampil di Java Jazz Festival. ”AP juga pernah mengundang Dave Koz ke rumah,” kata seorang anggota staf Medco menyebut inisial nama bosnya. Dave Koz adalah peniup saksofon dari Amerika.Saat ini memang masa kejayaan bisnis Arifin Panigoro dan keluarganya.

Usaha bekas politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu merentang dari Sabang sampai Merauke. Harga minyak yang membubung sampai di atas US$ 100 per barel menggelembungkan kas perusahaannya. Dengan bendera Medco, ia kini mulai membentangkan sayap ke Libya dan Brasil. Nilai kekayaannya berlipat-lipat. Satu dasawarsa silam, namanya ”tidak terdeteksi” di daftar 77 orang terkaya versi Pusat Data Bisnis Indonesia. Kini ia bertengger di papan atas. Hartanya bernilai US$ 880 juta atau sekitar Rp 8 triliun, menurut majalah Forbes. Tak aneh, ia mudah saja membuat para musisi kelas dunia manggung di rumahnya.Era reformasi seperti booster bagi Arifin, kini 63 tahun. Ia memang belum menjadi yang terkaya, tapi ia telah menembus kerajaan para taipan yang sebelumnya sudah malang-melintang di zaman Presiden Soeharto. ”Banyak kebetulannya, harga minyak lagi mahal. Coba kalau harga minyak US$ 10 per barel, sudah bangkrut dari kapan-kapan,” katanya merendah. Dan ia tidak sendiri. Nama penantang baru ini antara lain Trihatma Kusuma Haliman, yang memimpin perusahaan properti Grup Agung Podomoro. Ada pula bekas eksekutif Astra International, Theodore Permadi Rachmat, yang membangun Grup Triputra; Hary Tanoesoedibjo, yang memimpin Bhakti Investama dan menjadi penguasa Bimantara; Chairul Tanjung dengan Grup Para; juga Sudhamek Agung Waspodo dengan Grup Garudafood.Dick Rachmawan dari PT Actual Data Niaga, perusahaan riset bisnis, mengelompokkan Arifin dan sejumlah pengusaha lain itu sebagai ”raja-raja baru”. Mereka pengusaha papan atas atau pemimpin kawakan perusahaan yang tumbuh sebelum reformasi tapi berkembang pesat setelah rezim berganti. Sebagian besar kelompok usaha itu diuntungkan situasi saat ini. Arifin salah satunya. Selain itu, tingginya permintaan sawit membuat konglomerat yang telah berkecimpung lama di bidang ini bak tertimpa durian runtuh. Triputra Group, yang didirikan Theodore Permadi Rachmat, kini cukup ekspansif mengambil alih beberapa perusahaan kelapa sawit. Tentu saja, raja lama tetap berkuasa. Contohnya Grup Sinarmas, yang menguasai pasar kertas, sawit, hingga bank.

Menurut Actual Data Niaga, kini kelompok usaha Eka Tjipta Widjaya itu menduduki posisi teratas orang terkaya Indonesia. Sukanto Tanoto, yang memimpin kerajaan bisnis Raja Garuda Mas dari Singapura, juga makin besar. Begitu pula Grup Salim, Djarum, Lippo, Ciputra, dan Gudang Garam.Grup Salim, yang dulu malang-melintang tapi kemudian terempas badai krisis, kini kembali menggurita. Bisnis mereka tetap beranak-pinak, baik di dalam maupun luar negeri. Sebagian aset yang sempat diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional sebagai pembayaran utang kelompok usaha itu kini kembali mereka kuasai. Melalui PT Indofood Sukses Makmur, Grup Salim tetap merajai pasar mi instan dan tepung terigu, meskipun pangsa pasarnya tak sebesar dulu—setelah keran impor tepung dibuka lebar-lebar. ”Kami kini menguasai 70 persen pasar terigu,” kata Franciscus Welirang, wakil direktur utama perusahaan itu. ”Begitu juga pasar mi instan.”Christianto Wibisono, Ketua Global Nexus Institute, lembaga lobi dan konsultan strategi, mengatakan semua raja lama telah kembali. ”Kalau ada yang dikatakan pemain baru,” katanya, ”sebenarnya mereka pemain lama yang dulu kurang agresif.” Zaman reformasi telah membuat mereka bisa berkompetisi. ***Baik pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru, para penguasa bisnis membangun kerajaannya dengan mengandalkan kedekatan politik. Ambil contoh Sudono Salim. Ia memulai bisnisnya dari Semarang pada 1950-an, dengan menjadi pemasok Komando Daerah Militer Diponegoro, yang saat itu dipimpin Soeharto. Salim memanfaatkan Mayor Soedjono Hoemardani, Asisten Logistik Panglima Komando Daerah Militer Diponegoro, sebagai jembatan bisnis. Tahun berganti hingga Soeharto berkuasa di puncak kekuasaan pada 1966. Soedjono berubah menjadi jembatan emas bagi Salim ketika ia diangkat menjadi asisten pribadi presiden. Lewat priayi Solo itu, Salim alias Liem Sioe Liong mendapat berbagai monopoli. Bersama Probosutedjo, adik tiri Soeharto, ia memperoleh monopoli impor cengkeh dan pengolahan gandum impor. Berbekal privilese luar biasa inilah Salim membesarkan PT Bogasari, yang kini berada di bawah PT Indofood Sukses Makmur. Bertahun-tahun Bogasari menguasai pasar terigu.Hubungan Liem Sioe Liong dengan Keluarga Cendana semakin kukuh dengan masuknya Sudwikatmono, adik sepupu Soeharto, ke Grup Salim. Bank Central Asia milik Salim juga memberi Siti Hardijanti Rukmana dan Sigit Harjojudanto, dua anak Soeharto, 32 persen saham. Inilah ”persatuan dan kesatuan” penguasa dan pengusaha yang sesungguh-sungguhny a.Pola serupa dilakukan pengusaha lain, termasuk anak dan cucu Soeharto. Hutomo Mandala Putra memperoleh kekayaan luar biasa dengan tata niaga cengkeh yang diberikan bapaknya. Belakangan, Tommy juga mendapatkan konsesi membuat mobil nasional Timor. Bambang Trihatmodjo menikmati keuntungan tata niaga jeruk. Mereka berdua juga banyak bermain di bisnis perminyakan dengan Pertamina. Ari Sigit sebetulnya juga bakal menikmati tata niaga minuman keras dengan mendapatkan cukai. Tapi konsesi ini dibatalkan.Para taipan juga ugal-ugalan membangun bisnis. Mereka tidak membesarkan usaha dengan itung-itungan bisnis yang sehat. Begini polanya: para taipan merambah berbagai bidang dengan utang yang dikucurkan bank milik mereka sendiri. Dengan tekanan pemilik, bank-bank itu melanggar prinsip kehati-hatian.

Mereka juga jorjoran meminjam dari kreditor asing.Krisis keuangan menghantam Asia pada 1997. Bagaikan tsunami, krisis menyapu bangunan ekonomi bertiang rapuh itu. Kekuasaan Orde Baru juga oleng. Mahasiswa di berbagai kota mulai turun ke jalan, sesuatu yang sebelumnya dilarang. Aksi memuncak ketika pada Maret 1998 Soeharto terpilih kembali menjadi presiden. Ia mengangkat Siti Hardijanti dan Bob Hasan, kroninya, sebagai menteri. Ketika itu, Soeharto juga sempat menaikkan harga bahan bakar minyak. Mahasiswa berteriak: turunkan Soeharto, turunkan harga.…12 Mei 1998Empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas ketika berdemonstrasi di kampus mereka. Peluru aparat keamanan menembus mereka: Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Hertanto, dan Hendriawan Sie. Kerusuhan menjalar di mana-mana. Soeharto menyerah. Ia mundur pada 21 Mei tahun yang sama.Bisnis para konglomerat ikut runtuh. Melemahnya dolar membuat mereka tak sanggup membayar utang. Lengsernya Soeharto juga mengakibatkan patronase yang dibangun sebelumnya tak banyak gunanya. Apalagi Dana Moneter Internasional sebagai ”juragan baru” Indonesia mensyaratkan liberalisasi ekonomi dan pencabutan banyak konsesi.Walhasil, mereka harus menyerahkan aset-aset ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional untuk membayar utang. Tapi tidak semua dari mereka karam, karena telah menyiapkan sekoci. Jauh-jauh hari, sebagian dari mereka mengalirkan uangnya ke luar negeri. The International Herald Tribune menulis pada 16 Mei 1998, para taipan Indonesia memarkir uangnya di kantor bank-bank Eropa di Singapura. Mereka juga memiliki perusahaan yang dikendalikan dari Jakarta. Grup Salim menguasai First Pacific Co., yang terdaftar di Bursa Efek Hong Kong. Eka Tjipta Widjaja, pemimpin Sinarmas, menurut Herald, memiliki hotel di California dan Texas, Amerika Serikat.

Keluarga Wanandi, yang membangun Grup Gemala, juga memiliki saham di Arvin Industries Inc., perusahaan pembuat peralatan otomotif di Amerika Serikat.Dick Rachmawan menyebutkan para taipan juga membangun ”two dollars company”: perusahaan beralamat British Virgin Islands atau Kepulauan Mauritius dengan pola kepemilikan berliku-liku bak labirin. ”Ini perusahaan yang hanya beralamat PO box,” ia menjelaskan. Tapi merekalah yang menjadi pengendali berbagai bisnis di seluruh penjuru dunia.***lLewat perusahaan-perusaha an sekoci itu, antara lain, para konglomerat meraih kembali kejayaan bisnisnya. First Pacific kini memiliki 51 persen Indofood, dengan bendera CAB Holding Limited. Beberapa perusahaan yang beralamat di Mauritius—dan diduga milik para taipan lama—juga membeli sejumlah aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional.Badan Penyehatan juga menjadi pintu investor asing untuk menyerbu Indonesia. Perusahaan Malaysia dan Singapura pun mendapat berkah reformasi: membeli aset-aset eks konglomerat dengan harga obral. Holding pemerintah Singapura, Temasek, dan holding pemerintah Malaysia, Khazanah Berhad, menjadi pemangsa banyak perusahaan kakap Indonesia. Untuk mengejar setoran ke anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah kala itu memang menjual aset-aset tersebut dengan harga rendah.Para konglomerat juga telah mengambil pelajaran dari krisis. Menurut ekonom Faisal Basri, mereka kini berfokus pada bidang-bidang yang mereka kuasai. Christianto Wibisono menyebutkan mereka kembali ke bisnis inti. ”Mereka kapok macam-macam,” ujarnya.Di zaman reformasi, lobi-lobi politik juga tak menjadi beban utama pengusaha. Para pelaku usaha tetap menjalin hubungan dengan politikus, tapi tak sekental dulu. Mereka ”berinvestasi” ke kanal-kanal politik, termasuk para anggota Dewan Perwakilan Rakyat.Pande Radja Silalahi, ekonom dari Center for Strategic and International Studies, mengatakan para konglomerat dulu mengembangkan usaha berdasarkan keinginan pemerintah. ”Sekarang dibiarkan mengikuti mekanisme pasar, yang kadang-kadang bahkan tak sesuai dengan kepentingan nasional,” tuturnya.Dengan mekanisme pasar, pengusaha yang sudah telanjur kuat akan terus menguasai pasar. Itu sebabnya, menurut Arifin Panigoro, penguasa ekonomi Indonesia tetap kelompok yang sama dengan sepuluh tahun lalu. ”Empat L: lu lagi lu lagi…,” katanya.

Lagu Birdland terus mengentak:…down them stairs, lose them cares. Where?
Sumber: Majalah Tempo, Edisi. 12/XXXVII/12 - 18 Mei 2008,

DIALEKTIKA HEGEL

Pertama-tama sekali mesti ditegaskan bahwa masalahnya di sini sama sekali bukanlah hal mempertahankan titik-berangkat Hegel: bahwa jiwa, pikiran, ide, adalah primer dan bahwa dunia real hanyalah sebuah salinan (copy) dari ide itu. Feuerbach sudah meninggalkan hal itu. Kita semua sependapat, bahwa di setiap bidang ilmu-pengetahuan, dalam ilmu-pengetahuan alam maupun ilmu pengetahuan historikal, orang mesti mulai dari "faktum-faktum" (fakta) tertentu, dalam ilmu-pengetahuan alam, karenanya, dari berbagai bentuk material dan berbagai bentuk gerak materi bahwa karena itu, juga dalam ilmu-pengetahuan alam antar- keterkaitan antar-keterkaitan tidak boleh dibangun ke dalam fakta, melainkan mesti ditemukan di dalamnya, dan manakala ditemukan, mesti diverifikasi sejauh mungkin lewat eksperimen.

Ia juga bukan masalah mempertahankan isi dogmatik dari sistem Hegelian sebagaimana itu dikhotbahkan oleh para Hegelian Berlin dari aliran yang lebih tua dan aliran yang lebih muda. Maka itu, dengan jatuhnya titik-berangkat idealis, sistem yang dibangun di atasnya, khususnya filsafat alam Hegelian, juga ikut jatuh. Namun mesti diingatkan, bahwa polemik para sarjana ilmu-pengetahuan alam terhadap Hegel, sejauh mereka memang memahami Hegel secara tepat, semata-mata ditujukan terhadap kedua hal ini: yaitu, titik-berangkat idealis itu, dan konstruksi (rancang-bangun) sistem itu yang sewenang-wenang dan mengingkari fakta.Setelah semua ini dijadikan pertimbangan, masih tersisalah dialektika Hegel. Adalah jasa Marx bahwa, berlawanan dengan Eníyovo yang cuma sedang-sedang, congkak, rewel, yang kini berbicara besar di Jerman yang berkebudayaan,28) ia yang pertama kali mengedepankan kembali metode dialektikal yang telah dilupakan, kaitannya dengan dialektika Hegelian dan perbedaannya dari yang tersebut belakangan itu, dan sekaligus telah menerapkan metode ini dalam Capital pada/atas faktum-faktum suatu ilmu-pengetahuan empirikal, ekonomi politik. Dan ia melakukannya sedemikian berhasil sehingga, bahkan di Jerman, aliran ekonomi yang lebih baru melampaui sistem perdagangan-bebas yang vulgar hanya dengan menyalin dari Marx (dan seringkali secara tidak tepat), dengan berdalih (berpura-pura) mengritiknya.

Dalam dialektika Hegel masih berlaku inversi yang sama dari semua antar-keterkaitan seperti dalam semua cabang lainnya dalam sistemnya. Tetapi, sebagaimana dikatakan Marx: "Mistifikasi yang diderita dialektika dalam tangan Hegel, sedikitpun tidak menghalanginya untuk menjadi yang paling pertama menyajikan bentuk keberlakuannya (bekerjanya) secara umum secara komprehensif dan sadar. Dengan Hegel dialektika itu berdiri di atas kepalanya. Ia mesti dibalikkan agar berdiri secara benar, apabila orang hendak menemukan inti-rasional di dalam kulit mistikalnya.

Namun, di dalam ilmu-pengetahuan alam sendiri, kita cukup sering berjumpa dengan teori-teori di mana hubungan yang sesungguhnya diberdirikan di atas kepalanya, refleksinya diambil dari bentuk aslinya dan yang karena itu perlu/mesti dibalikkan agar berdiri secara benar (di atas kakinya). Teori-teori seperti itu cukup sering berdominasi selama waktu panjang. Manakala selama hampir dua abad panas itu dipandang sebagai suatu substansi istimewa yang misterius, dan bukannya suatu bentuk gerak dari materi biasa, itu justru merupakan satu kasus seperti itu dan teori mekaninal mengenai panas melaksanakan pembalikan itu tadi. Namun begitu, fisika yang didominasi oleh teori kalorik menemukan serangkaian hukum yang sangat penting mengenai panas dan membuka jalan, khususnya melalui Fourier dan Sadi Carnot, bagi konsepsi yang benar, yang kini untuk bagiannya mesti membalikkan secara tepat hukum-hukum yang ditemukan oleh pendahulunya, untuk menerjemahkannya ke dalam bahasanya sendiri.
Demikian pula, di dalam ilmu-kimia (chemistry), teori flogistika (phlogistics) pertama-tama memberikan bahannya, dengan seratus tahun kerja-eksperimental, dengan bantuan itu Lavoisier berhasil menemukan --di dalam oksigen yang diperoleh Priestley-- antipode sesungguhnya dari flogiston yang fantastik itu dan dengan demikian dapat membuang ke laut seluruh teori flogistika. Tetapi ini sama sekali tidak menyingkirkan hasil-hasil eksperimental mengenai ilmu-pengetahuan flogistika. Bahkan sebaliknya daripada itu. Mereka itu bertahan, hanya formulasinya yang dibalikkan, diterjemahkan dari flogistika ke dalam bahasa kimiah yang kini berlaku dan dengan demikian mempertahankan kesahihannya. Hubungan dialektika Hegelian dengan dialektika rasional adalah sama seperti hubungan teori kalorik dengan teori mekanikal mengenai panas dan hubungan teori flogistika dengan teori Lavoisier.

A Whiter Shade of Pale



by procol harum

She said, 'There is no reason and the truth is plain to see.'
But I wandered through my playing cards and would not let her be
one of sixteen vestal virgins who were leaving for the coast
and although my eyes were open they might have just as well've been closed

She said, 'I'm home on shore leave, though in truth we were at sea
so I took her by the looking glass and forced her to agree
saying, 'You must be the mermaid who took Neptune for a ride.'
But she smiled at me so sadly that my anger straightway died

..........................................................................................................
dedicated to my dear uncertainly heart who is my soulmate oscar .....

andai
KAHLIL GIBRAN
SAYAP SAYAP PATAH

Hidupku dalam keadaan koma, kosong seperti hidup Adam di Surga, ketika aku melihat Selma berdiri di hadapanku seperti berkas cahaya. Perempuan itu adalah Hawa hatiku yang memenuhinya dengan rahasia dan keajaiban dan membuatku paham akan
makna hidup…………….


Namun, sekarangkah saatnya kehidupan akan memisahkan kita agar engkau bisa memperoleh keagungan seorang lelaki dan aku kewajiban seorang perempuan?
Untuk inikah maka lembah menelan nyanyian burung bul-bul ke dalam relung-relungnya, dan angin memporakporandakan daun-daun mahkota bunga mawar,
dan kaki-kaki menginjak-injak piala anggur....?


Sia-siakah segala malam yang kita lalui bersama dalam cahaya rembulan di bawah pohon melati, tempat dua jiwa kita menyatu? Apakah kita terbang dengan gagah perkasa menuju bintang-bintang hingga lelap sayap-sayap kita, lalu sekarang kita turun ke dalam jurang? Atau tidurkah cinta ketika ia mendatangi kita, lalu, ketika ia terbangun,
menjadi marah dan memutuskan untuk menghukum kita?


Ataukah jiwa-jiwa kita mengubah angin malam yang sepoi menjadi angin ribut yang mengoyak-ngoyak kita menjadi berkeping-keping dan meniup kita bagai debu ke dasar lembah?
Kita tak melanggar perintah apa pun; kita pun tak mencicipi buah terlarang; lalu apa yang memaksa kita meninggalkan sorga ini ...........?

Kita tidak pernah berkomplot atau menggerakkan pemberontakan, lalu mengapa sekarang terjun ke neraka? Tidak, tidak, saat-saat yang menyatukan kita lebih agung daripada abad-abad yang berlalu, dan cahaya yang menerang jiwa-jiwa kita lebih perkasa daripada kegelapan; dan jika sang prahara memisahkan kita di lautan yang buas ini, sang bayu akan menyatukan kita di pantai yang tenang, dan jika hidup ini membantai kita, maut akan menyatukan kita lagi.

Hati nurani seorang wanita tak berubah oleh waktu dan musim; bahkan jika mati abadi, hati itu takkan hilang murca. Hati seorang wanita laksana sebuah padang yang berubah jadi medan pertempuran; seudah pohon-pohon ditumbangkan dan rerumputan terbakar dan batu-batu karang memerah oleh darah dan bumi ditanami dengan tulang-tulang dan tengkorak-tengkorak, ia akan tenang dan diam seolah tak ada sesuatu pun terjadi karena musim semi dan musim gugur datang pada waktunya dan memulai pekerjaannya...

MULTIKULTURALISME



pandangan tokoh muslim Zakiyuddin baidhawy
Satu pelajaran berharga dari evolusi kebudayaanadalah bahwa realitas multikultural secaralangsung dipengaruhi oleh pola pikir manusia sendiri.dalam konteks ini,spirit sawa' memperoleh momentumnya kembaliuntuk lahir dengan wajah baru. Tentu sajamelalui pembacaan ulangdan memperdengarkan kembali secara produktifuntuk menghadirkan kedalaman maknayang menggairahkan dan mencerahkan kehidupan bersama.

Rentang historis peradaban dunia membawa Islam terus berupaya mencari jalan untuk mengembangkan teknologi yang efektif bagi kehidupan majemuk. Berbagai tradisi filsafat, spiritualitas dan fiqhiyah telah memberi kontribusi penting untuk kemajuan dan pencarian bersama ini. Namun, evolusi kebudayaan sering menjelaskan bahwa gerakan yang diniatkan tidak selalu sesuai dengan cita-cita sosial umat Islam.Pada faktanya relasi antar agama, antar etnik dan antar budaya – bahkan antar sesama Muslim itu sendiri -- terus mengalami kehancuran ketika perbedaan perspektif, pandangan dan ideologi saling konfrontasi dan berebut kepentingan. Kunci utama agar tetap bertahan tergantung pada cara kita belajar mengelola keragaman dan konflik. Nyata bahwa prioritas untuk menghadapi pluralitas dan multikulturalitas bangsa yang semakin canggih dan percepatannya melalui globalisasi, hanya memperoleh solusi praktis secara kreatif ketika berbagai pandangan dunia Islam dan non-Islam dapat saling berjumpa.Islam perlu memanfaatkan momentum kebangkitan agama-agama di dunia yang terjadi sejak dekade 70-an, yang berbeda bentuk dan substansinya dari perkembangan pada pertengahan pertama abad 20. Dari segi bentuknya, agama-agama semakin menunjukkan kecenderungan semakin luwes dan umum (general) sebagai lawan dari agama-agama konfesional yang partikular. Dari segi substansinya, agama-agama mulai mengupayakan realisasi komunitas global universal dengan visi dan nasib bersama.Dalam konteks ini, Islam seyogyanya muncul sebagai agama universal, agama general yang visible dalam penyebaran wacana dan gerakan perdamaian dan peduli terhadap lingkungan hidup.

Kesempatan ini pula yang tidak boleh diabaikan Islam untuk menjadi pemain utama arus perubahan dunia menuju kedamaian sejati. Kita berharap, abad 21 akan menyaksikan sebuah kebangkitan religius-spiritual global baik dalam wilayah publik dan privat, meskipun peran marginal dari institusi-institusi keagamaan tradisional masih dapat dilihat dalam kehidupan ini. Di sinilah pentingnya setiap agama mengembangkan dan menguji kembali tradisi masing-masing dalam rangka merespon tantangan ini, tak terkecuali Islam sebagai agama mayoritas.Belajar dari kegagalan politik penguasa dalam mengelola masyarakat multikultural, paradigma etis Islam multikultural sudah saatnya menjadi sumber kehidupan berbangsa dan bernegara. Islam multikultural adalah sebentuk perspektif teologis tentang penghargaan terhadap keragaman dan "sang lian" (the other). Suatu assessment teologis mengenai agama lain, kultur lain, dan etnik lain, dan penempatannya secara layak dalam wilayah tatanan publik etis. Ia merupakan teologi qur'ani yang membolehkan "sang lian" menjadi "yang lain" sebagai realitas yang secara etis diperkenankan atau bahkan keniscayaan. Inilah perspektif teologis abad 21 yang berkomunikasi melampaui bahasa dan tradisi partikular. Meminjam istilah Abdulaziz Sachedina, ini merupakan "sensibilitas ekumene" dari teologi multikulturalis yang menggambarkan perhatian dan kepedulian terhadap penduduk dunia, mempengaruhi kehidupan mereka melampaui batas-batas komunitas-komunitas keagamaan dan kultural. Tujuan luhur teologi multikulturalis (summum bonum) adalah pembebasan dari belenggu kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, kezaliman, dan ketidakadilan sebagai akibat dari relasi kolonial atas-bawah, dominasi-subordinasi, superior-inferior, menindas-tertindas baik dalam hubungan antaragama, etnik dan budaya.Sulam Ragam Rajut HarmoniIslam pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia menuju cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan dan agama. Ini berarti bahwa dominasi ras dan diskriminasi atas nama apapun merupakan kekuatan antitesis terhadap tauhid, dan karenanya harus dikecam sebagai kemusyrikan dan sekaligus kejahatan atas kemanusiaan.

Pesan disinyalir al-Qur'an 3:64: "Katakanlah: Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan)! Mantapkanlah manifesto kesetaraan dan keadilan (melalui dialog) antara kami dan kamu".Dialog bukan semata percakapan bahkan pertemuan dua pikiran dan hati mengenai persoalan bersama, dengan komitmen untuk saling belajar dapat berubah dan berkembang. "Berubah" artinya dialog terbuka, jujur dan simpatik dapat membawa pada kesepahaman melalui mana prasangka, stereotip, dan celaan dapat dikurangi dan dieliminir. "Tumbuh" karena dialog mengantarkan pada informasi, klarifikasi dari sumber primer dan dapat mendiskusikannya secara terbuka dan tulus.

Dialog merupakan pangkal pencerahan nurani dan akal pikiran menuju kematangan cara beragama yang menghargai "kelainan" (the otherness).Dengan demikian, nilai sawa' adalah menyangkut cara manusia melakukan perjumpaan dengan dan memahami diri sendiri dan dunia lain pada tingkat terdalam, membuka kemungkinan-kemungkinan untuk menggali dan menggapai selaksa makna fundamental kehidupan secara individual dan kolektif dengan berbagai dimensinya.Secara eksperimental, sawa' tampil ke permukaan dan menjangkau perjumpaan antar dunia multikultural yang begitu luas. Ketika manusia hidup melalui perjumpaan agama-agama, seolah kita mendapatkan pengalaman antarkultural (intercultural experiences). Seperti kita berjuang dengan pola-pola sejarah pertentangan berbagai pandangan dunia. Seperti kita melibatkan secara kreatif kekuatan-kekuatan besar dalam kehidupan sipil di mana pertempuran ideologi dan kehidupan terjadi.

Pengalaman multikultural ini membuat kita mampu bangkit dan sadar dengan perspektif baru yang lebih memadai.Pluralitas dan multikulturalitas untuk dialog, bukan pertentangan, adalah teknologi masa depan yang muncul dari pandangan rasional otentik berbasis wahyu progresif yang merupakan dasar bagi semua pengalaman keagamaan dan kultural. Dialog membawa pada pandangan dunia keagamaan dan kultural yang tidak parsial atau ideologi sipil yang tidak diskriminatif.Sekali lagi, dialog adalah jiwa universal yang melampaui pertempuran agama-agama, konfrontasi pandangan ilmiah dengan kehidupan agama dan spiritual, alienasi dunia etnik yang destruktif, fragmentasi dan disintegrasi kehidupan batin individu, frustrasi kebudayaan-kebudayaan sekuler. Ini dalam upaya membuka ruang dan waktu publik di mana pluralitas pandangan dunia, perspektif, dan ideologi dapat maju bersama-sama dengan spirit perdamaian, rekonsiliasi, pengampunan, nirkekerasan dan berkeadaban.Penemuan sangat nyata atas pengalaman multikultural yang demikian intensif merupakan suatu keharusan dan kebutuhan yang tak terelakkan. Penemuan ini adalah dasar dan sumber utama diluar perbedaan dan keragaman (diversity) pandangan dunia dan perspektif. Dengan memperoleh akses pada sumber bagi seluruh kehidupan kultural dan mengalaminya, menjadi sangat jelas bahwa umat manusia sedang berada di tengah-tengah transformasi diri yang mendalam dan kematangan kemanusiaan.

Satu pelajaran berharga dari evolusi kebudayaan adalah bahwa realitas multikultural secara langsung dipengaruhi oleh pola pikir manusia sendiri. Bangsa besar yang kedodoran ini telah terkunci dalam pola pikir egosentris. Pola pikir monolog yang membuat kita menderita dan mengalami kegagalan terbesar dalam mengelola pluralitas dan multikulturalitas. Kita merasakan betapa pedihnya kekerasan dan kehancuran relasi antara sesama atas nama etnik, budaya, politik, ideologi dan bahkan agama.Dalam konteks ini, spirit sawa' memperoleh momentumnya kembali untuk lahir dengan wajah baru. Tentu saja, melalui pembacaan ulang dan memperdengarkan kembali secara produktif untuk menghadirkan kedalaman makna yang menggairahkan dan mencerahkan kehidupan bersama.

Spirit sawa' perlu ditumbuhkan kembali sebagai wahana transformasi diri dan transformasi sosial serta membangkitkan pola pikir dan pola hidup dialogis agar lebih dapat meraih kesejahteraan dan kedamaian dalam kehidupan personal dan komunal. Seluruh kemajuan agama, spiritual, rasional, moral, dan politik dalam evolusi kebudayaan harus dikonstruk dalam kematangan dialog dan perjumpaan multikultural secara kreatIf , peace bro..... !