Sabtu, 08 November 2008

Menaruh Harapan pada Partai Politik dalam Pemilu 2009

Masyarakat Indonesia kembali akan melaksanakan sebuah “hajat besar” politik di tahun 2009, dimana seluruh rakyat akan memberikan hak politiknya dalam pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu). Mekanisme demokrasi konstitusional ini akan digelar dan diuji sesuai fungsi dan asasnya. Apakah Pemilu 2009 masih dapat menjadi harapan bagi perubahan Indonesia yang lebih baik? Apakah rakyat Indonesia masih antusias serta puas terhadap seluruh tahap pelaksanaannya ? Dan yang terpenting apakah partai politik (parpol) peserta pemilu masih dapat berperan sesuai dengan fungsinya?

Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 7 Juli 2008 lalu menetapkan 34 parpol nasional dan 6 parpol lokal di Aceh yang dapat mengikuti pemilu 2009, maka masyarakat Indonesia lagi-lagi dihadapkan pada pilihan-pilihan parpol yang nantinya diharapkan dapat menjawab persoalan dan harapan-harapan para pemilihnya. Hak politik masyarakat ini akan diwujudkannya pada hari pemilihan umum tanggal 9 April 2009 nanti.

Sebagian besar masyarakat awalnya berharap jumlah parpol tidak sebanyak saat pemilu 1999 maupun pemilu 2004. Saat itu pemilu 1999 diikuti oleh 48 parpol, dan pada pemilu 2004 peserta pemilu menjadi 24 parpol. Namun, kini ada 34 parpol nasional yang akan menjadi peserta Pemilu 2009 nanti. Pada pesta demokrasi ini tentunya rakyat berharap banyak pada parpol sebagai institusi politik yang dapat membawa perubahan yang lebih baik.

Harapan akan perubahan itu seperti mudahnya rakyat mencukupi kebutuhan hidupnya, harga sembako yang terjangkau, biaya pendidikan yang murah sehingga anak-anaknya dapat sekolah, biaya kesehatan yang murah atau bahkan gratis, rakyat mendapat kebebasan mengeluarkan pendapat atau berorganisasi dan masih banyak lagi harapan dari rakyat ini yang menjadi tanggung jawab parpol di tengah himpitan hidup yang semakin berat.

Pelaksanaan pemilu kini sudah memasuki tahapannya, mulai 12 Juli 2008 parpol sudah dapat melakukan kampanye, dan ini merupakan tahapan kampanye parpol terpanjang selama pelaksanaan pemilu yang pernah ada di Indonesia. Pemilu 2009 masih menyimpan sebuah tantangan dan tanggung jawab bagi perubahan Indonesia yang lebih baik, sebab pemilu 2009 nanti diharapkan akan melahirkan pimpinan nasional dan para wakil rakyat yang siap membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat.

Selama ini parpol hanya merupakan alat mobilisasi massa, perekrutan, dan sosialisasi calon anggota legislatif, menjadi saluran kekuasaan (channel of power), tetapi belum menjadi sumber identitas politik para pemilihnya. Parpol menjadi terkesan hanya mengejar kekuasaan baik di legislatif maupun di eksekutif tanpa melihat dan memperjuangkan apa yang rakyat atau para pemilihnya inginkan. Belum lagi jika menyoroti prilaku politisi parpol di parlemen. Ini dikaitkan dengan ‘trend’ pencokokan sejumlah politisi partai yang tersangkut perkara korupsi oleh KPK. Fenomena ini semakin memperburam potret partai politik yang idealnya dapat memainkan peran baik sebagai agregasi maupun artikulasi konstituennya

Untuk itu, Pemilu 2009 diharapkan dapat menjadi saluran kontrol masyarakat atas parpol. Masyarakat saat ini lebih cerdas dan selektif terhadap parpol yang ada. Sebagai warga negara yang demokratis, para pemilih bukan hanya akan antusias mendukung parpol atau capres, tetapi juga dapat memilih untuk tidak memilih lagi parpol dan/atau capres yang kinerja politiknya buruk.

Masyarakat kini juga dapat melihat mana parpol dan politisi yang baik yang memiliki kontribusi positif (positive contribution) dan mana yang parpol dan politisi busuk yang hanya dapat memberikan kontibusi negatif (negative contribution) bagi negara ini. Melihat dari beberapa pemilihan kepala daerah (Pilkada) misalnya yang telah dilakukan, muncul fenomena yang cukup menarik dari sikap masyarakat yang memilih untuk tidak memilih dalam proses pemilihan kepala daerah. Hal ini bisa dimaklumi, di saat masyarakat kembali mempertanyakan peran dan fungsi dari parpol maupun para elit politik. pbhi jakarta

Selasa, 21 Oktober 2008

A Bailout We Don't Need ...., so...


by James K. Galbraith

Now that all five big investment banks -- Bear Stearns, Merrill Lynch, Lehman Brothers, Goldman Sachs and Morgan Stanley -- have disappeared or morphed into regular banks, a question arises.

Is this bailout still necessary?
The point of the bailout is to buy assets that are illiquid but not worthless. But regular banks hold assets like that all the time. They're called "loans."

With banks, runs occur only when depositors panic, because they fear the loan book is bad. Deposit insurance takes care of that. So why not eliminate the pointless $100,000 cap on federal deposit insurance and go take inventory? If a bank is solvent, money market funds would flow in, eliminating the need to insure those separately. If it isn't, the FDIC has the bridge bank facility to take care of that.

Next, put half a trillion dollars into the Federal Deposit Insurance Corp. fund -- a cosmetic gesture -- and as much money into that agency and the FBI as is needed for examiners, auditors and investigators. Keep $200 billion or more in reserve, so the Treasury can recapitalize banks by buying preferred shares if necessary -- as Warren Buffett did this week with Goldman Sachs. Review the situation in three months, when Congress comes back. Hedge funds should be left on their own. You can't save everyone, and those investors aren't poor.

With this solution, the systemic financial threat should go away. Does that mean the economy would quickly recover? No. Sadly, it does not. Two vast economic problems will confront the next president immediately. First, the underlying housing crisis: There are too many houses out there, too many vacant or unsold, too many homeowners underwater. Credit will not start to flow, as some suggest, simply because the crisis is contained. There have to be borrowers, and there has to be collateral. There won't be enough.

In Texas, recovery from the 1980s oil bust took seven years and the pull of strong national economic growth. The present slump is national, and it can't be cured that way. But it could be resolved in three years, rather than 10, by a new Home Owners Loan Corp., which would rewrite mortgages, manage rental conversions and decide when vacant, degraded properties should be demolished. Set it up like a draft board in each community, under federal guidelines, and get to work.

The second great crisis is in state and local government. Just Tuesday, New York Mayor Michael Bloomberg announced $1.5 billion in public spending cuts. The scenario is playing out everywhere: Schools, fire departments, police stations, parks, libraries and water projects are getting the ax, while essential maintenance gets deferred and important capital projects don't get built. This is pernicious when unemployment is rising and when we have all the real resources we need to preserve services and expand public investment. It's also unnecessary.

What to do? Reenact Richard Nixon's great idea: federal revenue sharing. States and localities should get the funds to plug their revenue gaps and maintain real public spending, per capita, for the next three to five years. Also, enact the National Infrastructure Bank, making bond revenue available in a revolving fund for capital improvements. There is work to do. There are people to do it. Bring them together. What could be easier or more sensible?

Here's another problem: the wealth loss to near-retirees and the elderly from a declining stock market as things shake out. How about taking care of this, with rough justice, through a supplement to Social Security? If you need a revenue source, impose a turnover tax on stocks.

Next, let's think about what the next upswing should try to achieve and how it should be powered. If the 1960s were about raising baby boomers and the '90s about technology, what should the '10s and '20s be about? It's obvious: energy and climate change. That's where the present great unmet needs are.

So, let's use the next few years to plan, mapping out a program of energy conservation, reconstruction and renewable power. Let's get the public sector and the universities working on it. And let's prepare the private sector so that when the credit crunch finally ends, we'll have the firms, the labs, the standards and the talent in place, ready to go.

Some will ask if we can afford it. To see the answer, don't look at budget projections. Just look at interest rates. Last week, in the panic, the federal government could fund itself, short term, for free. It could have raised money for 30 years and paid less than 4 percent. That's far less than it cost back in 2000.

No country in this situation is broke, or insolvent, or even in much trouble. For once, Wall Street's own markets speak the truth. The financially challenged customer isn't Uncle Sam. He's up on Wall Street, where deregulation, greed and fraud ran wild.
James K. Galbraith is the author of The Predator State: How Conservatives Abandoned the Free Market and Why Liberals Should Too. This article first appeared in the Washington Post on 25 September 2008: A19. It is reproduced here for educational purposes.

Jumat, 17 Oktober 2008

refleksi daun pandan



Hujan baru saja turun, semilir angin disore menjelang malam itu berhembus lembut menggoyang dedaunan pandan kesukaanku, ya harum pandan itu mengingatkanku saat masa kecil saya di yogyakarta, pada usia 10 th saya memiliki rambut panjang hingga menyentuh pinggang, dengan alasan agar rambutku harum tebal dan hitam, eyang memaksaku untuk memborehkan ramuannya berupa irisan daun pandan dan minyak kelapa buatannya sendiri di rambutku, yang kuingat saat itu rambutku seakan mengeluarkan semerbak harum sepanjang hari, tentu saja berbeda dengan wangi shampoo yang bertebaran di warung dan mini market saat ini....

Romantisme masa silam terkadang menjadi alat ukur evaluasi diri yang obyektif, pasti hingga akhir jaman harum daun pandan itu tidak akan pernah berubah, tidak seperti janji para politisi yang seringkali memperlihatkan data yang berbeda antara ucapan dan perbuatan, konsistensi dan komitmen masa kini seperti barang mewah yang mahal dicari, tidak seperti daun pandan yang murah dan kadang liar dimanapun berada, apakah didalam pot cantik diruang tamu sebagai asesoris, dipekarangan sebagai pagar, atau tumbuh liar dipinggir selokan, tetap saja harum.

Acapkali tidak sulit mencari motivator disekitar kita, tidak juga perlu kursus atau seminar di hotel mewah dengan biaya mahal ( ngetrend) mendengar motivator yang ekspert atau yang super itu, nampaknya bahasa alam dapat juga sebagai sumber utama menterjemahkan kejujuran dan valid, tidak seperti data yang datang dari lembaga survey publik maupun yang datang dari badan statistik pemerintah yang terkadang berbeda antara data dan fakta. Validitas atau kejujuran agaknya juga sudah menjadi barang langka yang sulit dicari masa kini, meski saya teramat yakin jika saja kejujuran, komitmen dan konsistensi itu betapapun mahal harganya jika ” sale” di negeri ini, pasti ada pembelinya. Seperti para pembeli ijazah palsu ..... he he he, seringkali gugatanku akan sebuah nilai seperti berharap embun disiang hari. meski acapkali gundah tetap saja terselip pengharapan esok hari embun itu pasti singgah, " karena kebenaran akan mencari jalannya sendiri ..' gitu kata seorang sahabat .
tak terasa matahari itu sudah tertidur dibalik awan, gelap , seperti gelapnya kita menempatkan kejujuran dalam sanubari, meski keadaan serba sulit seharusnya nilai kejujuran, komitmen dan kosistensi menjadi dasar bagi penilaian kompetensi, sehingga ruang demokrasi kita positif diterjemahkan oleh rakyat mengukir eksistensi, jika jabatan masih dipromosikan kepada kepentingan dari sudut nilai materil, saya khawatir bangsa ini akan dipimpin oleh para kapitalis yang berorientasi kepada profit, tidak bisa dibantah jika sebahagian besar masyarakat kita masih didominasi oleh mereka yang tingkat perekonomiannya lemah, kecuali harum daun pandan diujung halaman itu masih tetap berdaya guna spanjang masa, tak pernah berubah.

Jumat, 29 Agustus 2008

INI JURNAL KEBEBASAN AKAL DAN KEHENDAK


Pencarian Tuhan Lewat Akal
Oleh: Sukasah Syahdan

Semua manusia itu atheis.
Tepatnya, kita semua pernah jadi atheis. Paling tidak, pada dan untuk suatu saat, yaitu di masa-masa pranatal, bayi atau kanak. Ketika peranti dan daya nalar belum sepenuhnya berkembang, jangankan memikirkan keberadaanNya; memikirkan keberadaan sesuatu yang agak hangat di balik popok yang tiba-tiba lembab saja kita tidak kuasa.

Saat sistem tersebut mematang, barulah sedikit demi sedikit kita bisa mempertanyakan hal-hal mendasar tentang diri kita, tentang alam raya dan seisinya, tentang penciptaannya sekaligus tentang Sang Pencipta.dan pertanyaan ultimatnya adalah: (Ti)adakah Tuhan itu? Bisakah kita membuktikannya dengan akal?

Pertanyaan semacam ini sepertinya sudah dikekalkan sebagai pertanyaan; dia telah, sedang, dan akan terus dipertanyakan umat manusia di sepanjang jaman dan peradaban. Sudah sepantasnya Jurnal ini berkepentingan dengan isu yang satu ini, sebab namanya juga Akal dan Kehendak. Artikel ini saya tulis untuk mengawali pembahasan selanjutnya, kapan-kapan. Tujuan saat ini: memastikan posisi akal dengan setepat-tepatnya, terkait satu persoalan terpenting dalam hidup. Apakah pertanyaan-pertanyaan di atas akan tetap kekal tulisan ini selesai dibaca? Kita akan menjawabnya.

Salah satu argumen logis seputar keberadaan Tuhan menyatakan bahwa semua yang ada di alam pasti muncul lewat proses penciptaan. Proses ini dianggap telah terjadi dengan sendirinya, atau sebagai akibat dari rancangan yang disengaja.

Mereka yang percaya pada proses penciptaan mengatakan, semuanya berakhir pada konsep prima causa–atau konsep tentang keberadaan Sang Maha Pencipta dari segala pencipta dan segala penciptaan di seluruh alam raya. Orang yang dapat menerima konsep ini berpeluang besar untuk menerima keberadaan Tuhan. Sementara bagi yang tidak menerima, mereka harus terus mencari landasan keyakinan.

Selain itu, ada pula argumentasi yang menyatakan: Tuhan menciptakan alam semesta beserta segala isi dan isunya. Apa artinya ini? Artinya Ia tidak termasuk di/ke dalam alam semesta. Sebelum penciptaan dilakukan, Ia mestinya berada di luar alam raya. Lalu di manakah Ia pada saat itu? Dan di manakah Ia berada sekarang?

Kalau Tuhan dikatakan telah menciptakan semesta dari ketiadaan yang absolut, bukankah Tuhan termasuk dalam ketiadaan tersebut, sehingga ketiadaan tersebut tidak bermakna sebagaimana seharusnya? Jika orang menerima premis-premis minor tersebut, besar kemungkinan ia akan tiba pada premis akhir yang menolak keberadaan Tuhan. Namun, jika ia menolak premis-premis tersebut, tidak ada jalan lain, kecuali bahwa ia harus menunda kesimpulannya untuk sementara sambil mencari premis-premis logis lain yang harus tidak disangkalnya di muka.

Pertanyaannya: apakah theisme dan atheisme kita perlu dipergantungkan pada premis logis? Dalam hemat saya, ya. Karena ini tuntutan akal–berkah yang amat berharga dariNya (bagi yang percaya, tentunya). Asal mula penciptaan akal kita seharusnya, tanpa kontradiksi, berasal dari kekuatan yang menciptakan alam raya.

Mereka yang 1/2 percaya dan separuh tidak percaya mungkin akan bertanya: kalau Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, mengapa Ia yang juga Maha Mengetahui segala plot kejahatan, kebejatan dan kesengsaraan yang telah sedang dan akan dialami manusia, tidak melakukan apa-apa? Bagaimana menyikapi proposisi-proposisi logis yang provokatif semacam ini? Di mana tempat doa dalam konstruksi kejadian peristiwa-peristiwa?

Satu hal yang ingin saya tawarkan lewat tulisan ini adalah memahami dengan lebih baik karakteristik dan batas-batas kemampuan akal manusia. Dengan memahami sampai seberapa jauh akal kita dapat mencerna persoalan teologis ini, kita setidak-tidaknya dapat menghemat sumber daya.


Taruhlah pada titik ini, kita terima dulu tanpa analisis lebih jauh, bahwa akal manusia tidak dapat menjawab tuntas Rahasia Besar dalam hidup. Tapi tentunya kita punya rasa, punya kemampuan, punya pengalaman, dan punya peluang besar untuk mengetahui secara relatif lebih meyakinkan tentang batas-batas akal kita sendiri.

Sebab, kenapa tidak? Bukankah akal sesuatu yang ada pada kita? Jawaban terhadap batas-batasnya seharusnya tidak sesulit mempertahankan karya skripsi; dia seharusnya sesuatu yang amat intuitif. Jadi, mari kita bahas batas-batas akal. Sebelumnya, kita perlu membuat batasan atau definisinya.

Apakah akal itu? Akal di sini saya definisikan sebagai kemampuan (faculty) kita untuk mencerna, mengenali, mengidentifikasi, serta memadukan semua materi (‘informasi’) yang kita peroleh melalui panca indra. Ini definisi obyektivis yang saya kira cukup aman dan dapat kita terima.

Akal mengintegrasikan persepsi kita dengan jalan membentuk abstraksi atau konsepsi, sehingga kita bisa meningkatkan pengetahuan dan pemahaman kita dari tingkat yang tadinya semata perseptual (sebagaimana halnya yang dialami hewan), ke tingkat konseptual, yang hanya dapat dicapai oleh otak manusia. Metode yang dipakai akal kita dalam proses ini adalah logika. Logika adalah semacam seni mengidentifikasi sesuatu dengan cara yang tidak kontradiktif.

Terkait pemanfaatan akal dalam pencarian kebenaran dan pengetahuan, baik yang teologis maupun yang ilmiah, berikut ikhtisar singkat saya dari sudut pandang praksiologis (kajian tentang tindakan manusia):Jika kita merunut semua kejadian di alam raya, maka upaya ini akan membawa kita kepada proses regresi ad infinitum hingga ke titik awal terciptanya waktu. sejauh akal dipergunakan, konsep kita tentang waktu tidak final. Kita tidak mampu menangkap awal ataupun akhir dari waktu itu sendiri. Dalam konteks ini, boleh dikatakan bahwa cara pandang kita terhadap dunia sudah ditentukan demikian (deterministik).

Konsep kita tentang alam semesta hanya mampu memahami sesuatu yang ada, dan merunutnya kepada sesuatu yang telah ada sebelumnya; namun, kita tidak tahu penyebab terakhir yang bekerja di alam, sebab hal tersebut sudah melampaui kisaran akal kita dan berada di luar ranah pengetahuan manusia.

Setiap pencarian kebenaran secara ilmiah, cepat atau lambat, pasti akan berakhir pada sesuatu yang harus diterima dianggap sebagai given (sudah dari sananya begitu). Penelitian ilmiah tidak akan mampu sepenuhnya memberi jawaban terhadap teka-teki alam raya. Pencarian pengetahuan pasti akan ‘mentok’. Dalam ilmu pengetahuan ilmiah, kementokan ini hanya bisa diterima dengan kejujuran sebagaimana adanya.

Akal kita mampu menangkap hubungan/kondisi negasi; dengan demikian kita dapat memahami ketiadaan sebagai lawan dari keberadaan, atau non-eksistensi sebagai lawan dari eksistensi. Namun, akal tidak mampu menangkap negasi yang sifatnya absolut. Ini berlaku bagi apapun; hal ini sudah berada di luar pemahaman akal. Gagasan tentang pemunculan sesuatu dari ketiadaan, misalnya, atau gagasan tentang adanya awal yang absolut, tidak mampu dikonfirmasi atau ditolak oleh akal kita.

Akal kita juga tidak mampu memberi makna absolut yang obyektif terhadap terminologi ciptaan akal kita sendiri, semacam: sempurna, absolut, atau Maha. Sejak semula peristilahan ini adalah problem linguistik akibat keterbatasan sistem konvensi bahasa manusia itu sendiri dan/atau akibat universalisme subyektivitas nilai di dalam manusia. Dengan demikian, akal kita tidak mampu mencerna adanya sesuatu yang berasal dari ketiadaan yang lalu memengaruhi alam semesta dari luar (from without).

Dengan menyingkapkan batas-batas kemampuan akal kita seperti dinyatakan di atas, meskipun serba singkat dan terbatas, posisi akal kita terkait pertanyaan-pertanyaan ultimat seputar ketuhanan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

Akal manusia tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan ultimat tersebut di atas. Seandainya kesimpulan ini keliru, yang langsung berarti bahwa akal mampu menjawabnya, maka seluruh penduduk dunia saat ini semuanya akan meyakini keberadaan Tuhan sebagai fakta empiris sebagaimana keberadaan matahari di atas sana; atau justru sebaliknya. Logika adalah bahasa universal, sebagaimana seluruh manusia di bumi ini menerima bahwa 1+1=2. Atau harus menolak identitas semacam A=non-A.

Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa logika semata tidak mampu menggugurkan ataupun mengukuhkan inti dari ajaran-ajaran teologis. Ini bukan serangan terhadap akal ataupun logika. Pengerahan akal melalui logika bermanfaat untuk telah, sedang dan akan terus menyingkap berbagai kekeliruan dalam perumusan maupun penyimpulan persoalan teologis tersebut, di samping juga membongkar ribuan atau bahkan jutaan mitos, sihir, takhayul, dan berbagai praktik supranatural lainnya.

Keterbatasan atau ketidakmampuan akal dalam menangkap sesuatu tidak dengan sendirinya menegasikan keberadaan sesuatu tersebut. (Selama ribuan tahun manusia tidak mengenal adanya bakteri yang telah menyebabkan begitu banyak kematian manusia. Ketidaktertangkapan bakteri sebagai konsep maupun secara indrawi tidak meniadakannya.)

Keterbatasan akal manusia dalam memahami hal-hal fundamental tersebut jelas meninggalkan wilayah abu-abu yang luas menganga. Mungkin ini ruang yang cocok bagi pemanjatan doa-doa oleh para “Pemilik Teguh” (meminjam bait Bung Chairil Anwar). Yang pasti, atas dasar konsistensi, ruang eksklusif tersebut tidak dapat diakses oleh mereka yang menolak percaya.

Rabu, 20 Agustus 2008

Fakta seputar proklamasi


 Mungkinkah Revolusi Kemerdekaan Indonesia disebut sebagai revolusi dari kamar tidur? Coba simak ceritanya. Pada 17 Agustus 1945 pukul 08.00, ternyata Bung Karno masih tidur nyenyak di kamarnya, di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini. Dia terkena gejala malaria tertiana. Suhu badannya tinggi dan sangat lelah setelah begadang bersama para sahabatnya menyusun konsep naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda.

Pating greges, keluh Bung Karno setelah dibangunkan dr Soeharto, dokter kesayangannya. Kemudian darahnya dialiri chinineurethan intramusculair dan menenggak pil brom chinine. Lalu ia tidur lagi.

Pukul 09.00, Bung Karno terbangun. Berpakaian rapi putih-putih dan menemui sahabatnya, Bung Hatta. Tepat pukul 10.00, keduanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari serambi rumah.

“Demikianlah Saudara-saudara! Kita sekalian telah merdeka!”, ujar Bung Karno di hadapan segelintir patriot-patriot sejati. Mereka lalu menyanyikan lagu kebangsaan sambil mengibarkan bendera pusaka Merah Putih. Setelah upacara yang singkat itu, Bung Karno kembali ke kamar tidurnya. masih meriang. Tapi sebuah revolusi telah dimulai…

Upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ternyata berlangsung tanpa protokol, tak ada korps musik, tak ada konduktor dan tak ada pancaragam. Tiang bendera pun dibuat dari batang bambu secara kasar, serta ditanam hanya beberapa menit menjelang upacara. Tetapi itulah, kenyataan yang yang terjadi pada sebuah upacara sakral yang dinanti-nantikan selama lebih dari tiga ratus tahun!

Bendera Pusaka Sang Merah Putih adalah bendera resmi pertama bagi RI. Tetapi dari apakah bendera sakral itu dibuat? Warna putihnya dari kain sprei tempat tidur dan warna merahnya dari kain tukang soto!

Setelah merdeka 43 tahun, Indonesia baru memiliki seorang menteri pertama yang benar-benar orang Indonesia asli. Karena semua menteri sebelumnya lahir sebelum 17 Agustus 1945. Itu berarti, mereka pernah menjadi warga Hindia Belanda dan atau pendudukan Jepang, sebab negara hukum Republik Indonesia memang belum ada saat itu. “Orang Indonesia asli” pertama yang menjadi menteri adalah Ir Akbar Tanjung (lahir di Sibolga, Sumatera Utara, 30 Agustus 1945), sebagai Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga pada Kabinet Pembangunan V (1988-1993).

Menurut Proklamasi 17 Agustus 1945, Kalimantan adalah bagian integral wilayah hukum Indonesia. Kenyataannya, pulau tersebut paling unik di dunia. Di pulau tersebut, ada 3 kepala negara yang memerintah! Presiden Soeharto (memerintah 4 wilayah provinsi), PM Mahathir Mohamad (Sabah dan Serawak) serta Sultan Hassanal Bolkiah (Brunei).

Hubungan antara revolusi Indonesia dan Hollywood, memang dekat. Setiap 1 Juni, selalu diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila semasa Presiden Soekarno. Pada 1956, peristiwa tersebut “hampir secara kebetulan” dirayakan di sebuah hotel Hollywood. Bung Karno saat itu mengundang aktris legendaris Marylin Monroe, untuk sebuah makan malam di Hotel Beverly Hills, Hollywood. Hadir di antaranya Gregory Peck, George Murphy dan Ronald Reagan (25 tahun kemudian menjadi Presiden AS). Yang unik dari pesta menjelang Hari Lahir Pancasila itu, adalah kebodohan Marilyn dalam hal protokol. Pada pesta itu, Maryln menyapa Bung Karno bukan dengan “Mr President” atau “Your Excellency”, tetapi dengan Prince Soekarno!

Ada lagi hubungan erat antara 17 Agustus dan Hollywood. Judul pidato 17 Agustus 1964, Tahun Vivere Perilocoso (Tahun yang Penuh Bahaya), telah dijadikan judul sebuah film The Year of Living Dangerously. Film tersebut menceritakan pegalaman seorang wartawan asing di Indonesia pada 1960-an. Pada 1984, film yang dibintangi Mel Gibson itu mendapat Oscar untuk kategori film asing!

Naskah asli teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditulis tangan oleh Bung Karno dan didikte oleh Bung Hatta, ternyata tidak pernah dimiliki dan disimpan oleh Pemerintah! Anehnya, naskah historis tersebut justru disimpan dengan baik oleh wartawan B. M. Diah. Diah menemukan draft proklamasi itu di keranjang sampah di rumah Laksamana Maeda, 17 Agustus 1945 dini hari, setelah disalin dan diketik oleh Sajuti Melik. Pada 29 Mei 1992, Diah menyerahkan draft tersebut kepada Presiden Soeharto, setelah menyimpannya selama 46 tahun 9 bulan 19 hari.

Ketika tiba di Pelabuhan Sunda Kelapa 9 Juli 1942 siang bolong, Bung Karno mengeluarkan komentar pertama yang janggal didengar. Setelah menjalani pengasingan dan pembuangan oleh Belanda di luar Jawa, Bung Karno justru tidak membicarakan strategis perjuangan menentang penjajahan. Masalah yang dibicarakannya, hanya tentang sepotong jas! “Potongan jasmu bagus sekali!” komentar Bung Karno pertama kali tentang jas double breast yang dipakai oleh bekas iparnya, Anwar Tjikoroaminoto, yang menjemputnya bersama Bung Hatta dan segelintir tokoh nasionalis.

Rasa-rasanya di dunia ini, hanya the founding fathers Indonesia yang pernah mandi air seni. Saat pulang dari Dalat (Cipanasnya Saigon), Vietnam, 13 Agustus 1945, Soekarno bersama Bung Hatta, dr Radjiman Wedyodiningrat dan dr Soeharto (dokter pribadi Bung Karno) menumpang pesawat fighter bomber bermotor ganda. Dalam perjalanan, Soekarno ingin sekali buang air kecil, tetapi tak ada tempat. Setelah dipikir, dicari jalan keluarnya untuk hasrat yang tak tertahan itu. Melihat lubang-lubang kecil di dinding pesawat, di situlah Bung Karno melepaskan hajat kecilnya. Karena angin begitu kencang sekali, bersemburlah air seni itu dan membasahi semua penumpang. Byuuur…

Berkat kebohongan, peristiwa sakral Proklamasi 17 Agustus 1945 dapat didokumentasikan dan disaksikan oleh kita hingga kini. Saat tentara Jepang ingin merampas negatif foto yang mengabadikan peristiwa penting tersebut, Frans Mendoer, fotografer yang merekam detik-detik proklamasi, berbohong kepada mereka. Dia bilang tak punya negatif itu dan sudah diserahkan kepada Barisan Pelopor, sebuah gerakan perjuangan. Mendengar jawaban itu, Jepang pun marah besar. Padahal negatif film itu ditanam di bawah sebuah pohon di halaman Kantor harian Asia Raja. Setelah Jepang pergi, negatif itu diafdruk dan dipublikasi secara luas hingga bisa dinikmati sampai sekarang. Bagaimana kalau Mendoer bersikap jujur pada Jepang?

Kali ini, Bung Hatta yang berbohong demi proklamasi. Waktu masa revolusi, Bung Karno memerintahkan Bung Hatta untuk meminta bantuan senjata kepada Jawaharlal Nehru. Cara untuk pergi ke India pun dilakukan secara rahasia. Bung Hatta memakai paspor dengan nama “Abdullah, co-pilot”. Lalu beliau berangkat dengan pesawat yang dikemudikan Biju Patnaik, seorang industrialis yang kemudian menjadi menteri pada kabinet PM Morarji Desai. Bung Hatta diperlakukan sangat hormat oleh Nehru dan diajak bertemu Mahatma Gandhi. Nehru adalah kawan lama Hatta sejak 1920-an dan Gandhi mengetahui perjuangan Hatta. Setelah pertemuan, Gandhi diberi tahu oleh Nehru bahwa “Abdullah” itu adalah Mohammad hatta. Apa reaksi Gandhi? Dia marah besar kepada Nehru, karena tidak diberi tahu yang sebenarnya. “You are a liar!” ujar tokoh kharismatik itu kepada Nehru

Bila 17 Agustus menjadi tanggal kelahiran Indonesia, justru tanggal tersebut menjadi tanggal kematian bagi pencetus pilar Indonesia. Pada tanggal itu, pencipta lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, WR Soepratman (wafat 1937) dan pencetus ilmu bahasa Indonesia, Herman Neubronner van der Tuuk (wafat 1894) meninggal dunia.

Bendera Merah Putih dan perayaan tujuh belasan bukanlah monopoli Indonesia. Corak benderanya sama dengan corak bendera Kerajaan Monaco dan hari kemerdekaannya sama dengan hari proklamasi Republik Gabon (sebuah negara di Afrika Barat) yang merdeka 17 Agustus 1960.

Jakarta, tempat diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia dan kota tempat Bung Karno dan Bung Hatta berjuang, tidak memberi imbalan yang cukup untuk mengenang co-proklamator Indonesia. Sampai detik ini, tidak ada “Jalan Soekarno-Hatta” di ibu kota Jakarta. Bahkan, nama mereka tidak pernah diabadikan untuk sebuah objek bangunan fasilitas umum apa pun sampai 1985, ketika sebuah bandara diresmikan dengan memakai nama mereka.

Gelar Proklamator untuk Bung Karno dan Bung Hatta, hanyalah gelar lisan yang diberikan rakyat Indonesia kepadanya selama 41 tahun! Sebab, baru 1986 Permerintah memberikan gelar proklamator secara resmi kepada mereka.

Kalau saja usul Bung Hatta diterima, tentu Indonesia punya “lebih dari dua” proklamator. Saat setelah konsep naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia rampung disusun di rumah Laksamana Maeda, Jl. Imam Bonjol no 1, Jakarta, Bung Hatta mengusulkan semua yang hadir saat rapat din hari itu ikut menandatangani teks proklamasi yang akan dibacakan pagi harinya. Tetapi usul ditolak oleh Soekarni, seorang pemuda yang hadir. Rapat itu dihadiri Soekarno, Hatta dan calon proklamator yang gagal: Achmad Soebardjo, Soekarni dan Sajuti Melik. “Huh, diberi kesempatan membuat sejarah tidak mau”, gerutu Bung Hatta karena usulnya ditolak.


Rabu, 13 Agustus 2008

63 Tahun RI Pemimpin "Sejati " vs Pemimpin “Iklan”

Pengantar:
Setelah 63 tahun lalu kemerdekaan Indonesia direbut melalui perjuangan revolusioner rakyat, kemerdekaan yang menjadi jembatan emas menuju masyarakat, adil, makmur masih jauh dari cita-cita revolusi 1945. Elite kini malah sibuk mengiklankan diri seolah-olah bisa menjadi pemimpin rakyat. bisakah cita-cita dilanjutkan dengan cara seperti ini? Tulisan mengenai sosok pemimpin sejati yang bisa melanjutkan cita-cita revolusi 1945 diturunkan dalam tiga tulisan berseri oleh wartawan SH, Tutut Herlina dan Web Warouw.


Sejumlah nama pemimpin negara itu terpampang di selembar kertas yang disodorkan seorang kader partai politik akhir bulan Juli lalu. Mereka antara lain Presiden Venezuela Hugo Chavez, Presiden Rusia Dimitri Medvedev, Presiden Bolivia Evo Morales, dan Perdana Menteri Rusia Vladimir Vladimirovich Putin. mereka dinilai mewakili ”takdir” dunia saat ini, yakni sebuah dunia di bawah kepemimpinan kaum muda. Mencoba mengikuti tren yang terjadi di dunia itu pula, Indonesia yang akan menghadapi pemilihan umum (Pemilu) pada 2009 mendatang juga terinspirasi perlunya menghadirkan pimpinan muda. sejumlah nama pun bermunculan, dari Rizal Mallarangeng, Fadjroel Rachman dan Yuddy Chrisnandi. Mereka menantang para calon pimpinan tua seperti Megawati Soekarnoputri, Wiranto, Prabowo, Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla. 

Akankah mereka bisa sama? Mari lihat latar belakangnya, Hugo Chavez adalah seorang kolonel tentara Venezuela yang revolusioner. Bersama dengan teman-temannya dia memulai perjuangan sejak tahun 1970. Nama organginisasinya MBR 200 (Gerakan Bolvarian Revolusioner), gerakan terpadu antara rakyat dengan militer bersenjata. Ia sangat terinspirasi dengan pemimpin revolusi China Mao Zedong yang menyebutkan bahwa ”tentara dan rakyat ibarat ikan di dalam air”. Ia sempat dipenjara karena melakukan pemberontakan bersenjata.

Namun, ia tak surut untuk terus melakukan perjuangan dan bersatu dengan rakyat menghadapi penghisapan kaum pemilik modal dan pemerintahan AS yang berkolaborasi erat dengan pemerintahan di negeri itu. Ia akhirnya memenangkan pemilu dengan massa yang menerimanya dengan antusias. begitu berkuasa, ia memiliki konsepsi sosialisme abad 21 dan melakukan nasionalisasi. 

Pun demikian dengan Evo Morales. Ia memulai perjuangan dari awal dengan
mendampingi para petani kakao yang umumnya berasal dari Suku Indian. Evo yang juga berasal dari Suku Indian itu akhirnya dipercaya menjadi presiden lewat pemilu. pengalamannya bersama kaum papa, telah membuatnya bercita-cita untuk berdiri tegak di samping mereka. Dia dengan keras melawan arogansi pemilik modal maupun negara Barat yang telah melakukan neokolonialisme. Tak tedeng aling-aling, ia nasionalisasi sejumlah perusahaan minyak swasta karena selama ini tak pernah ada keuntungan untuk rakyat Bolivia. Ia tak peduli dengan ancaman arbitrase internasional. 

Vladimir Putin adalah mantan seorang anggota polisi rahasia Uni Soviet (KGB). dalam usianya yang masih muda, dia sudah menjadi anggota Partai Komunis Uni Soviet (PKUS). Namun, seiring runtuhnya Uni Soviet ia meninggalkan profesi itu. didorong dengan rasa cinta tanah air yang kuat dan penderitaan rakyat akibat campur tangan AS dan Eropa Barat, ia bertekad untuk memulihkan keadaan. bersama dengan anggota KGB lainnya ia melakukan operasi diam-diam hingga naik ke tampuk kekuasaan. Tugas pertamanya adalah menyingkirkan kaum oligarki atau pemilik modal dari panggung politik karena mereka telah mengakibatkan penderitaan rakyat. 

Ia menghapus kaum oligarki sebagai sebuah kelas. Ia juga menasionalisasi BUMN yang sebelumnya telah diprivatisasi. Medvedev sendiri merupakan penerus Putin, yang sebelumnya selalu bersama-sama ”menumpas” kaum oligarki. Pergerakan dari Bawah ….? 

Lantas bagaimana dengan tokoh-tokoh di Indonesia? Rizal Mallarangeng tersohor sebagai pengamat politik. Ia membawakan acara di televisi swasta. Ia memiliki lembaga swadaya masyarakat (LSM) Freedom Institute yang dekat dengan Menko Kesra Aburizal Bakrie yang juga pemilik PT Lapindo Brantas. Luapan lumpur panas PT Lapindo sendiri saat ini telah menenggelamkan beberapa desa di Sidoarjo. 

Melalui Freedom Institute pula, Rizal mendukung kenaikan harga bahan baker minyak (BBM) pada tahun 2005. Ia juga dikenal sebagai intelektual yang propasar bebas. Sementara itu, Fadjroel Rahman sering menjadi moderator maupun pengamat yang dimintai pendapatnya di media massa. Pada zaman Orde Baru (Orba) ia pernah dipenjara karena menentang Soeharto. Saat ini, ia memiliki lembaga Pedoman. adapun Yuddy Chrisnandi adalah seorang anggota Partai Golongan Karya (Golkar), sebuah partai warisan Orba. Ia dikenal suka bicara melawan arus partainya. Pendapatnya sering dikutip oleh media massa. Namun, tak pernah terdengar sepak terjangnya memulai pergerakan dari bawah, bersama-sama rakyat yang menderita. begitu pula dengan tokoh tua, Megawati pernah menjadi ikon perlawanan rakyat terhadap rezim Soeharto. Ia juga dipandang memiliki kharisma ayahnya, Presiden Soekarno. Namun, begitu berkuasa pada 2001-2004, sejumlah UU yang proneoliberalisme dibuat, misalnya UU Sumber Daya Air (SDA), UU Tenaga Listrik, UU Minyak dan Gas Bumi, serta UU Pertambangan di Hutan Lindung. Pada saat itu juga terjadi privatisasi besar-besaran atas BUMN, salah satunya divestasi Indosat.

Wiranto adalah mantan ajudan Presiden Soeharto yang dipaksa lengser dari
kekuasaannya oleh kekuatan rakyat. Ia pernah menjadi Menhankam/Pangab dan dituduh terlibat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Timor Timur (Timtim), kasus Mei, maupun penculikan orang secara paksa. 

Begitu juga dengan Prabowo Subianto. Mantan Danjen Kopassus dan menantu Presiden Soeharto itu dituding terlibat pelanggaran HAM, kerusuhan Mei 1998 dan penculikan orang. Ia tidak pernah datang ketika dipanggil oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sementara itu, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, dipilih oleh rakyat sebagai Presiden untuk periode 2004–2009. Yudhoyono dari kalangan militer, sedangkan Kalla seorang saudagar. Pada masa kepemimpinannya tersebut, harga BBM sudah naik dua kali. Oleh kalangan aktivis dan mahasiswa, mereka dituding terlalu tunduk pada kemauan AS, salah satu contohnya adalah penyerahan Blok Cepu pada Exxon Mobil Oil. 

Ternyata dengan semua latar belakang yang ada, berpatokan tua dan muda tidaklah cukup. Indonesia membutuhkan pemimpin yang berkualitas yang bisa lahir bersama-sama dengan rakyat. Jika ada sosok muda seperti Chavez, Indonesia akan mengalami kemajuan dan sejajar di dunia. Begitu pula jika ada sosok tua seperti Mao Zedong yang menjadi panutan Chavez maupun Deng Xiaoping, Indonesia juga bisa seperti China.


Namun, jika kualitas mereka tak sama seperti Chavez ataupun Mao yang melayani rakyat tertindas, jangan harap negara adil makmur bisa tercipta. Kesetaraan negara membutuhkan pemimpin sejati, bukan calon pemimpin yang gemar beriklan atau membuat opini,
 

Kereta yang Masih Tertinggal di Stasiun Tua 
”Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? .... Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni demokrasi ekonomi dan politik yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial!” (Soekarno 1 Juli 1945)

Pertengahan abad 20 merupakan abad kebangkitan dari negara-negara dunia ketiga yang umumnya ada di benua Asia dan Afrika. Mereka sadar bahwa kolonialisme harus hengkang dari bumi pertiwi. Jalannya adalah revolusi, melawan sistem penindasan dan penghisapan negara-negara Barat. di antara negeri-negeri yang mencapai kemenangan itu ada Indonesia. Dengan membawa mimpi besar akan kesejahteraan rakyat, negara kepulauan ini mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1945. Selanjutnya, India merdeka pada 1946, Republik Rakyat China (RRC) merdeka 1949, dan jauh setelah itu Vietnam, yang mendapatkan kemerdekaan pada tahun 1976.

Namun, apa yang terjadi setelah itu? Setelah luluh lantak karena dibombardir oleh kekuatan senjata Amerika Serikat (AS), Vietnam harus menghadapi tekanan internasional berupa embargo politik maupun ekonomi. Oleh sejumlah pihak, embargo asing ini disebut sebagai kebijakan menutup diri. dengan kekuatan sendiri di bawah kepemimpinan Partai Komunis Vietnam (PKV) dan bantuan negara tetangganya, China, Vietnam selanjutnya membenahi ekonomi. Tak mau didikte asing, mereka menitikberatkan pada pembangunan industri dasar dalam negeri dan ekonomi terencana. 

Hasilnya, sekitar tahun 1990–an, salah satu negara anggota ASEAN tersebut
ekonominya mulai mengalami peningkatan. Bandul krisis moneter pada tahun 1997 sempat menghantam negara itu, tapi dalam waktu singkat Vietnam telah pulih. 

Negeri dengan penduduk sekitar 80 juta jiwa itu kini menjadi incaran investasi asing. Banyak industri yang tadinya menanamkan investasinya di Indonesia, kini mengalihkan ke Vietnam. Meski ekonominya terbuka terhadap pasar, regulasi maupun sektor publik tetap dikuasai oleh negara. Tanah tetap menjadi milik negara dan rakyat hanya menggunakannya. 

Adapun China seusai memenangkan revolusi masih menghadapi masalah dalam negeri ditambah dengan tekanan internasional yang luar biasa. Namun, dengan semangat teguh ”tak ingin didikte asing”, China pelan-pelan bangkit. Itu pulalah yang membuat China harus masuk ke dalam perang Korea menghadapi pasukan AS. Bagi China, AS hendak menyerang China dan ingin mengembalikan Chiang Kaisek yang dikalahkan oleh Partai Komunis China (PKC) di bawah kepemimpinan Mao Zedong. Akibat perang tersebut, China diembargo oleh AS dan sekutunya hingga akhir tahun 1970–an, sehingga China hanya bisa bergantung pada hasil-hasil penyelundupan dari Inggris. 

Masalah dalam negeri juga tak kalah peliknya. Kebijakan lompatan besar ke depan (great leap forward) pada 1958 telah mengakibatkan angka kelaparan yang tinggi, namun di sisi lain, negeri itu bisa membangun industri baja dalam negeri. Selain itu, ”Revolusi Kebudayaan” yang tadinya dipersiapkan sebagai landasan masyarakat yang kokoh pada akhir abad 20 membawa kekacauan yang dahsyat karena ideologi ekstrem kiri. namun, dengan bimbingan PKC, China meneruskan revolusinya dengan mengganti namanya menjadi reformasi. Di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, China melaksanakan politik pintu terbuka dan empat modernisasi yang telah digariskan oleh Mao Zedong dan diproklamirkan Perdana Menteri Zhou Enlai pada 1975.

Selanjutnya, China dipenuhi dengan cerita yang spektakuler. Negara-negara Barat yang tadinya mengembargo mulai menjalin kerja sama karena China dengan penduduk 1,3 miliar adalah ”pasar emas” bagi setiap komoditi. Hanya saja, sekalipun menganut politik pintu terbuka, pemerintah China tetap memegang regulasi dibidang perekonomian. 

Pasar swasta dilindungi tetapi BUMN tetap dominan memegang peranan besar. kehebatan ekonomi China itu, baru-baru ini ditunjukkan lewat pembukaan Olimpiade Beijing yang terhebat sepanjang sejarah. China sekaligus telah meruntuhkan mitos bahwa jumlah penduduk besar menyulitkan pembangunan. Justru sebaliknya, China membuktikan bahwa faktor pembangunan terpenting adalah manusia.

India dengan jumlah penduduk nomor dua di dunia setelah China, mengawali pembangunannya usai kemerdekaan dengan gerakan swadesi, yakni menggunakan produk sendiri. Negeri ini memilih untuk mengubah pelan-pelan terhadap budaya dan masyarakatnya. Prioritas pembangunannya adalah pendidikan dan kesehatan rakyat. hasilnya, India ”memproduksi” banyak sarjana teknologi informasi (IT). India juga merupakan salah satu negara pemilik nuklir. Bersama-sama dengan China, India saat ini telah menjadi kekuatan yang dipertimbangkan dunia. Tidak adanya titik temu antara AS dengan India dan China dalam pertemuan organisasi perdagangan dunia (WTO) baru-baru ini menunjukkan dua negara itu menjadi penyeimbang arogansi Barat.

Jumat, 20 Juni 2008