Sabtu, 08 November 2008

Menaruh Harapan pada Partai Politik dalam Pemilu 2009

Masyarakat Indonesia kembali akan melaksanakan sebuah “hajat besar” politik di tahun 2009, dimana seluruh rakyat akan memberikan hak politiknya dalam pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu). Mekanisme demokrasi konstitusional ini akan digelar dan diuji sesuai fungsi dan asasnya. Apakah Pemilu 2009 masih dapat menjadi harapan bagi perubahan Indonesia yang lebih baik? Apakah rakyat Indonesia masih antusias serta puas terhadap seluruh tahap pelaksanaannya ? Dan yang terpenting apakah partai politik (parpol) peserta pemilu masih dapat berperan sesuai dengan fungsinya?

Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 7 Juli 2008 lalu menetapkan 34 parpol nasional dan 6 parpol lokal di Aceh yang dapat mengikuti pemilu 2009, maka masyarakat Indonesia lagi-lagi dihadapkan pada pilihan-pilihan parpol yang nantinya diharapkan dapat menjawab persoalan dan harapan-harapan para pemilihnya. Hak politik masyarakat ini akan diwujudkannya pada hari pemilihan umum tanggal 9 April 2009 nanti.

Sebagian besar masyarakat awalnya berharap jumlah parpol tidak sebanyak saat pemilu 1999 maupun pemilu 2004. Saat itu pemilu 1999 diikuti oleh 48 parpol, dan pada pemilu 2004 peserta pemilu menjadi 24 parpol. Namun, kini ada 34 parpol nasional yang akan menjadi peserta Pemilu 2009 nanti. Pada pesta demokrasi ini tentunya rakyat berharap banyak pada parpol sebagai institusi politik yang dapat membawa perubahan yang lebih baik.

Harapan akan perubahan itu seperti mudahnya rakyat mencukupi kebutuhan hidupnya, harga sembako yang terjangkau, biaya pendidikan yang murah sehingga anak-anaknya dapat sekolah, biaya kesehatan yang murah atau bahkan gratis, rakyat mendapat kebebasan mengeluarkan pendapat atau berorganisasi dan masih banyak lagi harapan dari rakyat ini yang menjadi tanggung jawab parpol di tengah himpitan hidup yang semakin berat.

Pelaksanaan pemilu kini sudah memasuki tahapannya, mulai 12 Juli 2008 parpol sudah dapat melakukan kampanye, dan ini merupakan tahapan kampanye parpol terpanjang selama pelaksanaan pemilu yang pernah ada di Indonesia. Pemilu 2009 masih menyimpan sebuah tantangan dan tanggung jawab bagi perubahan Indonesia yang lebih baik, sebab pemilu 2009 nanti diharapkan akan melahirkan pimpinan nasional dan para wakil rakyat yang siap membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat.

Selama ini parpol hanya merupakan alat mobilisasi massa, perekrutan, dan sosialisasi calon anggota legislatif, menjadi saluran kekuasaan (channel of power), tetapi belum menjadi sumber identitas politik para pemilihnya. Parpol menjadi terkesan hanya mengejar kekuasaan baik di legislatif maupun di eksekutif tanpa melihat dan memperjuangkan apa yang rakyat atau para pemilihnya inginkan. Belum lagi jika menyoroti prilaku politisi parpol di parlemen. Ini dikaitkan dengan ‘trend’ pencokokan sejumlah politisi partai yang tersangkut perkara korupsi oleh KPK. Fenomena ini semakin memperburam potret partai politik yang idealnya dapat memainkan peran baik sebagai agregasi maupun artikulasi konstituennya

Untuk itu, Pemilu 2009 diharapkan dapat menjadi saluran kontrol masyarakat atas parpol. Masyarakat saat ini lebih cerdas dan selektif terhadap parpol yang ada. Sebagai warga negara yang demokratis, para pemilih bukan hanya akan antusias mendukung parpol atau capres, tetapi juga dapat memilih untuk tidak memilih lagi parpol dan/atau capres yang kinerja politiknya buruk.

Masyarakat kini juga dapat melihat mana parpol dan politisi yang baik yang memiliki kontribusi positif (positive contribution) dan mana yang parpol dan politisi busuk yang hanya dapat memberikan kontibusi negatif (negative contribution) bagi negara ini. Melihat dari beberapa pemilihan kepala daerah (Pilkada) misalnya yang telah dilakukan, muncul fenomena yang cukup menarik dari sikap masyarakat yang memilih untuk tidak memilih dalam proses pemilihan kepala daerah. Hal ini bisa dimaklumi, di saat masyarakat kembali mempertanyakan peran dan fungsi dari parpol maupun para elit politik. pbhi jakarta

Selasa, 21 Oktober 2008

A Bailout We Don't Need ...., so...


by James K. Galbraith

Now that all five big investment banks -- Bear Stearns, Merrill Lynch, Lehman Brothers, Goldman Sachs and Morgan Stanley -- have disappeared or morphed into regular banks, a question arises.

Is this bailout still necessary?
The point of the bailout is to buy assets that are illiquid but not worthless. But regular banks hold assets like that all the time. They're called "loans."

With banks, runs occur only when depositors panic, because they fear the loan book is bad. Deposit insurance takes care of that. So why not eliminate the pointless $100,000 cap on federal deposit insurance and go take inventory? If a bank is solvent, money market funds would flow in, eliminating the need to insure those separately. If it isn't, the FDIC has the bridge bank facility to take care of that.

Next, put half a trillion dollars into the Federal Deposit Insurance Corp. fund -- a cosmetic gesture -- and as much money into that agency and the FBI as is needed for examiners, auditors and investigators. Keep $200 billion or more in reserve, so the Treasury can recapitalize banks by buying preferred shares if necessary -- as Warren Buffett did this week with Goldman Sachs. Review the situation in three months, when Congress comes back. Hedge funds should be left on their own. You can't save everyone, and those investors aren't poor.

With this solution, the systemic financial threat should go away. Does that mean the economy would quickly recover? No. Sadly, it does not. Two vast economic problems will confront the next president immediately. First, the underlying housing crisis: There are too many houses out there, too many vacant or unsold, too many homeowners underwater. Credit will not start to flow, as some suggest, simply because the crisis is contained. There have to be borrowers, and there has to be collateral. There won't be enough.

In Texas, recovery from the 1980s oil bust took seven years and the pull of strong national economic growth. The present slump is national, and it can't be cured that way. But it could be resolved in three years, rather than 10, by a new Home Owners Loan Corp., which would rewrite mortgages, manage rental conversions and decide when vacant, degraded properties should be demolished. Set it up like a draft board in each community, under federal guidelines, and get to work.

The second great crisis is in state and local government. Just Tuesday, New York Mayor Michael Bloomberg announced $1.5 billion in public spending cuts. The scenario is playing out everywhere: Schools, fire departments, police stations, parks, libraries and water projects are getting the ax, while essential maintenance gets deferred and important capital projects don't get built. This is pernicious when unemployment is rising and when we have all the real resources we need to preserve services and expand public investment. It's also unnecessary.

What to do? Reenact Richard Nixon's great idea: federal revenue sharing. States and localities should get the funds to plug their revenue gaps and maintain real public spending, per capita, for the next three to five years. Also, enact the National Infrastructure Bank, making bond revenue available in a revolving fund for capital improvements. There is work to do. There are people to do it. Bring them together. What could be easier or more sensible?

Here's another problem: the wealth loss to near-retirees and the elderly from a declining stock market as things shake out. How about taking care of this, with rough justice, through a supplement to Social Security? If you need a revenue source, impose a turnover tax on stocks.

Next, let's think about what the next upswing should try to achieve and how it should be powered. If the 1960s were about raising baby boomers and the '90s about technology, what should the '10s and '20s be about? It's obvious: energy and climate change. That's where the present great unmet needs are.

So, let's use the next few years to plan, mapping out a program of energy conservation, reconstruction and renewable power. Let's get the public sector and the universities working on it. And let's prepare the private sector so that when the credit crunch finally ends, we'll have the firms, the labs, the standards and the talent in place, ready to go.

Some will ask if we can afford it. To see the answer, don't look at budget projections. Just look at interest rates. Last week, in the panic, the federal government could fund itself, short term, for free. It could have raised money for 30 years and paid less than 4 percent. That's far less than it cost back in 2000.

No country in this situation is broke, or insolvent, or even in much trouble. For once, Wall Street's own markets speak the truth. The financially challenged customer isn't Uncle Sam. He's up on Wall Street, where deregulation, greed and fraud ran wild.
James K. Galbraith is the author of The Predator State: How Conservatives Abandoned the Free Market and Why Liberals Should Too. This article first appeared in the Washington Post on 25 September 2008: A19. It is reproduced here for educational purposes.

Jumat, 17 Oktober 2008

refleksi daun pandan



Hujan baru saja turun, semilir angin disore menjelang malam itu berhembus lembut menggoyang dedaunan pandan kesukaanku, ya harum pandan itu mengingatkanku saat masa kecil saya di yogyakarta, pada usia 10 th saya memiliki rambut panjang hingga menyentuh pinggang, dengan alasan agar rambutku harum tebal dan hitam, eyang memaksaku untuk memborehkan ramuannya berupa irisan daun pandan dan minyak kelapa buatannya sendiri di rambutku, yang kuingat saat itu rambutku seakan mengeluarkan semerbak harum sepanjang hari, tentu saja berbeda dengan wangi shampoo yang bertebaran di warung dan mini market saat ini....

Romantisme masa silam terkadang menjadi alat ukur evaluasi diri yang obyektif, pasti hingga akhir jaman harum daun pandan itu tidak akan pernah berubah, tidak seperti janji para politisi yang seringkali memperlihatkan data yang berbeda antara ucapan dan perbuatan, konsistensi dan komitmen masa kini seperti barang mewah yang mahal dicari, tidak seperti daun pandan yang murah dan kadang liar dimanapun berada, apakah didalam pot cantik diruang tamu sebagai asesoris, dipekarangan sebagai pagar, atau tumbuh liar dipinggir selokan, tetap saja harum.

Acapkali tidak sulit mencari motivator disekitar kita, tidak juga perlu kursus atau seminar di hotel mewah dengan biaya mahal ( ngetrend) mendengar motivator yang ekspert atau yang super itu, nampaknya bahasa alam dapat juga sebagai sumber utama menterjemahkan kejujuran dan valid, tidak seperti data yang datang dari lembaga survey publik maupun yang datang dari badan statistik pemerintah yang terkadang berbeda antara data dan fakta. Validitas atau kejujuran agaknya juga sudah menjadi barang langka yang sulit dicari masa kini, meski saya teramat yakin jika saja kejujuran, komitmen dan konsistensi itu betapapun mahal harganya jika ” sale” di negeri ini, pasti ada pembelinya. Seperti para pembeli ijazah palsu ..... he he he, seringkali gugatanku akan sebuah nilai seperti berharap embun disiang hari. meski acapkali gundah tetap saja terselip pengharapan esok hari embun itu pasti singgah, " karena kebenaran akan mencari jalannya sendiri ..' gitu kata seorang sahabat .
tak terasa matahari itu sudah tertidur dibalik awan, gelap , seperti gelapnya kita menempatkan kejujuran dalam sanubari, meski keadaan serba sulit seharusnya nilai kejujuran, komitmen dan kosistensi menjadi dasar bagi penilaian kompetensi, sehingga ruang demokrasi kita positif diterjemahkan oleh rakyat mengukir eksistensi, jika jabatan masih dipromosikan kepada kepentingan dari sudut nilai materil, saya khawatir bangsa ini akan dipimpin oleh para kapitalis yang berorientasi kepada profit, tidak bisa dibantah jika sebahagian besar masyarakat kita masih didominasi oleh mereka yang tingkat perekonomiannya lemah, kecuali harum daun pandan diujung halaman itu masih tetap berdaya guna spanjang masa, tak pernah berubah.

Jumat, 29 Agustus 2008

INI JURNAL KEBEBASAN AKAL DAN KEHENDAK


Pencarian Tuhan Lewat Akal
Oleh: Sukasah Syahdan

Semua manusia itu atheis.
Tepatnya, kita semua pernah jadi atheis. Paling tidak, pada dan untuk suatu saat, yaitu di masa-masa pranatal, bayi atau kanak. Ketika peranti dan daya nalar belum sepenuhnya berkembang, jangankan memikirkan keberadaanNya; memikirkan keberadaan sesuatu yang agak hangat di balik popok yang tiba-tiba lembab saja kita tidak kuasa.

Saat sistem tersebut mematang, barulah sedikit demi sedikit kita bisa mempertanyakan hal-hal mendasar tentang diri kita, tentang alam raya dan seisinya, tentang penciptaannya sekaligus tentang Sang Pencipta.dan pertanyaan ultimatnya adalah: (Ti)adakah Tuhan itu? Bisakah kita membuktikannya dengan akal?

Pertanyaan semacam ini sepertinya sudah dikekalkan sebagai pertanyaan; dia telah, sedang, dan akan terus dipertanyakan umat manusia di sepanjang jaman dan peradaban. Sudah sepantasnya Jurnal ini berkepentingan dengan isu yang satu ini, sebab namanya juga Akal dan Kehendak. Artikel ini saya tulis untuk mengawali pembahasan selanjutnya, kapan-kapan. Tujuan saat ini: memastikan posisi akal dengan setepat-tepatnya, terkait satu persoalan terpenting dalam hidup. Apakah pertanyaan-pertanyaan di atas akan tetap kekal tulisan ini selesai dibaca? Kita akan menjawabnya.

Salah satu argumen logis seputar keberadaan Tuhan menyatakan bahwa semua yang ada di alam pasti muncul lewat proses penciptaan. Proses ini dianggap telah terjadi dengan sendirinya, atau sebagai akibat dari rancangan yang disengaja.

Mereka yang percaya pada proses penciptaan mengatakan, semuanya berakhir pada konsep prima causa–atau konsep tentang keberadaan Sang Maha Pencipta dari segala pencipta dan segala penciptaan di seluruh alam raya. Orang yang dapat menerima konsep ini berpeluang besar untuk menerima keberadaan Tuhan. Sementara bagi yang tidak menerima, mereka harus terus mencari landasan keyakinan.

Selain itu, ada pula argumentasi yang menyatakan: Tuhan menciptakan alam semesta beserta segala isi dan isunya. Apa artinya ini? Artinya Ia tidak termasuk di/ke dalam alam semesta. Sebelum penciptaan dilakukan, Ia mestinya berada di luar alam raya. Lalu di manakah Ia pada saat itu? Dan di manakah Ia berada sekarang?

Kalau Tuhan dikatakan telah menciptakan semesta dari ketiadaan yang absolut, bukankah Tuhan termasuk dalam ketiadaan tersebut, sehingga ketiadaan tersebut tidak bermakna sebagaimana seharusnya? Jika orang menerima premis-premis minor tersebut, besar kemungkinan ia akan tiba pada premis akhir yang menolak keberadaan Tuhan. Namun, jika ia menolak premis-premis tersebut, tidak ada jalan lain, kecuali bahwa ia harus menunda kesimpulannya untuk sementara sambil mencari premis-premis logis lain yang harus tidak disangkalnya di muka.

Pertanyaannya: apakah theisme dan atheisme kita perlu dipergantungkan pada premis logis? Dalam hemat saya, ya. Karena ini tuntutan akal–berkah yang amat berharga dariNya (bagi yang percaya, tentunya). Asal mula penciptaan akal kita seharusnya, tanpa kontradiksi, berasal dari kekuatan yang menciptakan alam raya.

Mereka yang 1/2 percaya dan separuh tidak percaya mungkin akan bertanya: kalau Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, mengapa Ia yang juga Maha Mengetahui segala plot kejahatan, kebejatan dan kesengsaraan yang telah sedang dan akan dialami manusia, tidak melakukan apa-apa? Bagaimana menyikapi proposisi-proposisi logis yang provokatif semacam ini? Di mana tempat doa dalam konstruksi kejadian peristiwa-peristiwa?

Satu hal yang ingin saya tawarkan lewat tulisan ini adalah memahami dengan lebih baik karakteristik dan batas-batas kemampuan akal manusia. Dengan memahami sampai seberapa jauh akal kita dapat mencerna persoalan teologis ini, kita setidak-tidaknya dapat menghemat sumber daya.


Taruhlah pada titik ini, kita terima dulu tanpa analisis lebih jauh, bahwa akal manusia tidak dapat menjawab tuntas Rahasia Besar dalam hidup. Tapi tentunya kita punya rasa, punya kemampuan, punya pengalaman, dan punya peluang besar untuk mengetahui secara relatif lebih meyakinkan tentang batas-batas akal kita sendiri.

Sebab, kenapa tidak? Bukankah akal sesuatu yang ada pada kita? Jawaban terhadap batas-batasnya seharusnya tidak sesulit mempertahankan karya skripsi; dia seharusnya sesuatu yang amat intuitif. Jadi, mari kita bahas batas-batas akal. Sebelumnya, kita perlu membuat batasan atau definisinya.

Apakah akal itu? Akal di sini saya definisikan sebagai kemampuan (faculty) kita untuk mencerna, mengenali, mengidentifikasi, serta memadukan semua materi (‘informasi’) yang kita peroleh melalui panca indra. Ini definisi obyektivis yang saya kira cukup aman dan dapat kita terima.

Akal mengintegrasikan persepsi kita dengan jalan membentuk abstraksi atau konsepsi, sehingga kita bisa meningkatkan pengetahuan dan pemahaman kita dari tingkat yang tadinya semata perseptual (sebagaimana halnya yang dialami hewan), ke tingkat konseptual, yang hanya dapat dicapai oleh otak manusia. Metode yang dipakai akal kita dalam proses ini adalah logika. Logika adalah semacam seni mengidentifikasi sesuatu dengan cara yang tidak kontradiktif.

Terkait pemanfaatan akal dalam pencarian kebenaran dan pengetahuan, baik yang teologis maupun yang ilmiah, berikut ikhtisar singkat saya dari sudut pandang praksiologis (kajian tentang tindakan manusia):Jika kita merunut semua kejadian di alam raya, maka upaya ini akan membawa kita kepada proses regresi ad infinitum hingga ke titik awal terciptanya waktu. sejauh akal dipergunakan, konsep kita tentang waktu tidak final. Kita tidak mampu menangkap awal ataupun akhir dari waktu itu sendiri. Dalam konteks ini, boleh dikatakan bahwa cara pandang kita terhadap dunia sudah ditentukan demikian (deterministik).

Konsep kita tentang alam semesta hanya mampu memahami sesuatu yang ada, dan merunutnya kepada sesuatu yang telah ada sebelumnya; namun, kita tidak tahu penyebab terakhir yang bekerja di alam, sebab hal tersebut sudah melampaui kisaran akal kita dan berada di luar ranah pengetahuan manusia.

Setiap pencarian kebenaran secara ilmiah, cepat atau lambat, pasti akan berakhir pada sesuatu yang harus diterima dianggap sebagai given (sudah dari sananya begitu). Penelitian ilmiah tidak akan mampu sepenuhnya memberi jawaban terhadap teka-teki alam raya. Pencarian pengetahuan pasti akan ‘mentok’. Dalam ilmu pengetahuan ilmiah, kementokan ini hanya bisa diterima dengan kejujuran sebagaimana adanya.

Akal kita mampu menangkap hubungan/kondisi negasi; dengan demikian kita dapat memahami ketiadaan sebagai lawan dari keberadaan, atau non-eksistensi sebagai lawan dari eksistensi. Namun, akal tidak mampu menangkap negasi yang sifatnya absolut. Ini berlaku bagi apapun; hal ini sudah berada di luar pemahaman akal. Gagasan tentang pemunculan sesuatu dari ketiadaan, misalnya, atau gagasan tentang adanya awal yang absolut, tidak mampu dikonfirmasi atau ditolak oleh akal kita.

Akal kita juga tidak mampu memberi makna absolut yang obyektif terhadap terminologi ciptaan akal kita sendiri, semacam: sempurna, absolut, atau Maha. Sejak semula peristilahan ini adalah problem linguistik akibat keterbatasan sistem konvensi bahasa manusia itu sendiri dan/atau akibat universalisme subyektivitas nilai di dalam manusia. Dengan demikian, akal kita tidak mampu mencerna adanya sesuatu yang berasal dari ketiadaan yang lalu memengaruhi alam semesta dari luar (from without).

Dengan menyingkapkan batas-batas kemampuan akal kita seperti dinyatakan di atas, meskipun serba singkat dan terbatas, posisi akal kita terkait pertanyaan-pertanyaan ultimat seputar ketuhanan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

Akal manusia tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan ultimat tersebut di atas. Seandainya kesimpulan ini keliru, yang langsung berarti bahwa akal mampu menjawabnya, maka seluruh penduduk dunia saat ini semuanya akan meyakini keberadaan Tuhan sebagai fakta empiris sebagaimana keberadaan matahari di atas sana; atau justru sebaliknya. Logika adalah bahasa universal, sebagaimana seluruh manusia di bumi ini menerima bahwa 1+1=2. Atau harus menolak identitas semacam A=non-A.

Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa logika semata tidak mampu menggugurkan ataupun mengukuhkan inti dari ajaran-ajaran teologis. Ini bukan serangan terhadap akal ataupun logika. Pengerahan akal melalui logika bermanfaat untuk telah, sedang dan akan terus menyingkap berbagai kekeliruan dalam perumusan maupun penyimpulan persoalan teologis tersebut, di samping juga membongkar ribuan atau bahkan jutaan mitos, sihir, takhayul, dan berbagai praktik supranatural lainnya.

Keterbatasan atau ketidakmampuan akal dalam menangkap sesuatu tidak dengan sendirinya menegasikan keberadaan sesuatu tersebut. (Selama ribuan tahun manusia tidak mengenal adanya bakteri yang telah menyebabkan begitu banyak kematian manusia. Ketidaktertangkapan bakteri sebagai konsep maupun secara indrawi tidak meniadakannya.)

Keterbatasan akal manusia dalam memahami hal-hal fundamental tersebut jelas meninggalkan wilayah abu-abu yang luas menganga. Mungkin ini ruang yang cocok bagi pemanjatan doa-doa oleh para “Pemilik Teguh” (meminjam bait Bung Chairil Anwar). Yang pasti, atas dasar konsistensi, ruang eksklusif tersebut tidak dapat diakses oleh mereka yang menolak percaya.

Rabu, 20 Agustus 2008

Fakta seputar proklamasi


 Mungkinkah Revolusi Kemerdekaan Indonesia disebut sebagai revolusi dari kamar tidur? Coba simak ceritanya. Pada 17 Agustus 1945 pukul 08.00, ternyata Bung Karno masih tidur nyenyak di kamarnya, di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini. Dia terkena gejala malaria tertiana. Suhu badannya tinggi dan sangat lelah setelah begadang bersama para sahabatnya menyusun konsep naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda.

Pating greges, keluh Bung Karno setelah dibangunkan dr Soeharto, dokter kesayangannya. Kemudian darahnya dialiri chinineurethan intramusculair dan menenggak pil brom chinine. Lalu ia tidur lagi.

Pukul 09.00, Bung Karno terbangun. Berpakaian rapi putih-putih dan menemui sahabatnya, Bung Hatta. Tepat pukul 10.00, keduanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari serambi rumah.

“Demikianlah Saudara-saudara! Kita sekalian telah merdeka!”, ujar Bung Karno di hadapan segelintir patriot-patriot sejati. Mereka lalu menyanyikan lagu kebangsaan sambil mengibarkan bendera pusaka Merah Putih. Setelah upacara yang singkat itu, Bung Karno kembali ke kamar tidurnya. masih meriang. Tapi sebuah revolusi telah dimulai…

Upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ternyata berlangsung tanpa protokol, tak ada korps musik, tak ada konduktor dan tak ada pancaragam. Tiang bendera pun dibuat dari batang bambu secara kasar, serta ditanam hanya beberapa menit menjelang upacara. Tetapi itulah, kenyataan yang yang terjadi pada sebuah upacara sakral yang dinanti-nantikan selama lebih dari tiga ratus tahun!

Bendera Pusaka Sang Merah Putih adalah bendera resmi pertama bagi RI. Tetapi dari apakah bendera sakral itu dibuat? Warna putihnya dari kain sprei tempat tidur dan warna merahnya dari kain tukang soto!

Setelah merdeka 43 tahun, Indonesia baru memiliki seorang menteri pertama yang benar-benar orang Indonesia asli. Karena semua menteri sebelumnya lahir sebelum 17 Agustus 1945. Itu berarti, mereka pernah menjadi warga Hindia Belanda dan atau pendudukan Jepang, sebab negara hukum Republik Indonesia memang belum ada saat itu. “Orang Indonesia asli” pertama yang menjadi menteri adalah Ir Akbar Tanjung (lahir di Sibolga, Sumatera Utara, 30 Agustus 1945), sebagai Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga pada Kabinet Pembangunan V (1988-1993).

Menurut Proklamasi 17 Agustus 1945, Kalimantan adalah bagian integral wilayah hukum Indonesia. Kenyataannya, pulau tersebut paling unik di dunia. Di pulau tersebut, ada 3 kepala negara yang memerintah! Presiden Soeharto (memerintah 4 wilayah provinsi), PM Mahathir Mohamad (Sabah dan Serawak) serta Sultan Hassanal Bolkiah (Brunei).

Hubungan antara revolusi Indonesia dan Hollywood, memang dekat. Setiap 1 Juni, selalu diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila semasa Presiden Soekarno. Pada 1956, peristiwa tersebut “hampir secara kebetulan” dirayakan di sebuah hotel Hollywood. Bung Karno saat itu mengundang aktris legendaris Marylin Monroe, untuk sebuah makan malam di Hotel Beverly Hills, Hollywood. Hadir di antaranya Gregory Peck, George Murphy dan Ronald Reagan (25 tahun kemudian menjadi Presiden AS). Yang unik dari pesta menjelang Hari Lahir Pancasila itu, adalah kebodohan Marilyn dalam hal protokol. Pada pesta itu, Maryln menyapa Bung Karno bukan dengan “Mr President” atau “Your Excellency”, tetapi dengan Prince Soekarno!

Ada lagi hubungan erat antara 17 Agustus dan Hollywood. Judul pidato 17 Agustus 1964, Tahun Vivere Perilocoso (Tahun yang Penuh Bahaya), telah dijadikan judul sebuah film The Year of Living Dangerously. Film tersebut menceritakan pegalaman seorang wartawan asing di Indonesia pada 1960-an. Pada 1984, film yang dibintangi Mel Gibson itu mendapat Oscar untuk kategori film asing!

Naskah asli teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditulis tangan oleh Bung Karno dan didikte oleh Bung Hatta, ternyata tidak pernah dimiliki dan disimpan oleh Pemerintah! Anehnya, naskah historis tersebut justru disimpan dengan baik oleh wartawan B. M. Diah. Diah menemukan draft proklamasi itu di keranjang sampah di rumah Laksamana Maeda, 17 Agustus 1945 dini hari, setelah disalin dan diketik oleh Sajuti Melik. Pada 29 Mei 1992, Diah menyerahkan draft tersebut kepada Presiden Soeharto, setelah menyimpannya selama 46 tahun 9 bulan 19 hari.

Ketika tiba di Pelabuhan Sunda Kelapa 9 Juli 1942 siang bolong, Bung Karno mengeluarkan komentar pertama yang janggal didengar. Setelah menjalani pengasingan dan pembuangan oleh Belanda di luar Jawa, Bung Karno justru tidak membicarakan strategis perjuangan menentang penjajahan. Masalah yang dibicarakannya, hanya tentang sepotong jas! “Potongan jasmu bagus sekali!” komentar Bung Karno pertama kali tentang jas double breast yang dipakai oleh bekas iparnya, Anwar Tjikoroaminoto, yang menjemputnya bersama Bung Hatta dan segelintir tokoh nasionalis.

Rasa-rasanya di dunia ini, hanya the founding fathers Indonesia yang pernah mandi air seni. Saat pulang dari Dalat (Cipanasnya Saigon), Vietnam, 13 Agustus 1945, Soekarno bersama Bung Hatta, dr Radjiman Wedyodiningrat dan dr Soeharto (dokter pribadi Bung Karno) menumpang pesawat fighter bomber bermotor ganda. Dalam perjalanan, Soekarno ingin sekali buang air kecil, tetapi tak ada tempat. Setelah dipikir, dicari jalan keluarnya untuk hasrat yang tak tertahan itu. Melihat lubang-lubang kecil di dinding pesawat, di situlah Bung Karno melepaskan hajat kecilnya. Karena angin begitu kencang sekali, bersemburlah air seni itu dan membasahi semua penumpang. Byuuur…

Berkat kebohongan, peristiwa sakral Proklamasi 17 Agustus 1945 dapat didokumentasikan dan disaksikan oleh kita hingga kini. Saat tentara Jepang ingin merampas negatif foto yang mengabadikan peristiwa penting tersebut, Frans Mendoer, fotografer yang merekam detik-detik proklamasi, berbohong kepada mereka. Dia bilang tak punya negatif itu dan sudah diserahkan kepada Barisan Pelopor, sebuah gerakan perjuangan. Mendengar jawaban itu, Jepang pun marah besar. Padahal negatif film itu ditanam di bawah sebuah pohon di halaman Kantor harian Asia Raja. Setelah Jepang pergi, negatif itu diafdruk dan dipublikasi secara luas hingga bisa dinikmati sampai sekarang. Bagaimana kalau Mendoer bersikap jujur pada Jepang?

Kali ini, Bung Hatta yang berbohong demi proklamasi. Waktu masa revolusi, Bung Karno memerintahkan Bung Hatta untuk meminta bantuan senjata kepada Jawaharlal Nehru. Cara untuk pergi ke India pun dilakukan secara rahasia. Bung Hatta memakai paspor dengan nama “Abdullah, co-pilot”. Lalu beliau berangkat dengan pesawat yang dikemudikan Biju Patnaik, seorang industrialis yang kemudian menjadi menteri pada kabinet PM Morarji Desai. Bung Hatta diperlakukan sangat hormat oleh Nehru dan diajak bertemu Mahatma Gandhi. Nehru adalah kawan lama Hatta sejak 1920-an dan Gandhi mengetahui perjuangan Hatta. Setelah pertemuan, Gandhi diberi tahu oleh Nehru bahwa “Abdullah” itu adalah Mohammad hatta. Apa reaksi Gandhi? Dia marah besar kepada Nehru, karena tidak diberi tahu yang sebenarnya. “You are a liar!” ujar tokoh kharismatik itu kepada Nehru

Bila 17 Agustus menjadi tanggal kelahiran Indonesia, justru tanggal tersebut menjadi tanggal kematian bagi pencetus pilar Indonesia. Pada tanggal itu, pencipta lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, WR Soepratman (wafat 1937) dan pencetus ilmu bahasa Indonesia, Herman Neubronner van der Tuuk (wafat 1894) meninggal dunia.

Bendera Merah Putih dan perayaan tujuh belasan bukanlah monopoli Indonesia. Corak benderanya sama dengan corak bendera Kerajaan Monaco dan hari kemerdekaannya sama dengan hari proklamasi Republik Gabon (sebuah negara di Afrika Barat) yang merdeka 17 Agustus 1960.

Jakarta, tempat diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia dan kota tempat Bung Karno dan Bung Hatta berjuang, tidak memberi imbalan yang cukup untuk mengenang co-proklamator Indonesia. Sampai detik ini, tidak ada “Jalan Soekarno-Hatta” di ibu kota Jakarta. Bahkan, nama mereka tidak pernah diabadikan untuk sebuah objek bangunan fasilitas umum apa pun sampai 1985, ketika sebuah bandara diresmikan dengan memakai nama mereka.

Gelar Proklamator untuk Bung Karno dan Bung Hatta, hanyalah gelar lisan yang diberikan rakyat Indonesia kepadanya selama 41 tahun! Sebab, baru 1986 Permerintah memberikan gelar proklamator secara resmi kepada mereka.

Kalau saja usul Bung Hatta diterima, tentu Indonesia punya “lebih dari dua” proklamator. Saat setelah konsep naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia rampung disusun di rumah Laksamana Maeda, Jl. Imam Bonjol no 1, Jakarta, Bung Hatta mengusulkan semua yang hadir saat rapat din hari itu ikut menandatangani teks proklamasi yang akan dibacakan pagi harinya. Tetapi usul ditolak oleh Soekarni, seorang pemuda yang hadir. Rapat itu dihadiri Soekarno, Hatta dan calon proklamator yang gagal: Achmad Soebardjo, Soekarni dan Sajuti Melik. “Huh, diberi kesempatan membuat sejarah tidak mau”, gerutu Bung Hatta karena usulnya ditolak.


Rabu, 13 Agustus 2008

63 Tahun RI Pemimpin "Sejati " vs Pemimpin “Iklan”

Pengantar:
Setelah 63 tahun lalu kemerdekaan Indonesia direbut melalui perjuangan revolusioner rakyat, kemerdekaan yang menjadi jembatan emas menuju masyarakat, adil, makmur masih jauh dari cita-cita revolusi 1945. Elite kini malah sibuk mengiklankan diri seolah-olah bisa menjadi pemimpin rakyat. bisakah cita-cita dilanjutkan dengan cara seperti ini? Tulisan mengenai sosok pemimpin sejati yang bisa melanjutkan cita-cita revolusi 1945 diturunkan dalam tiga tulisan berseri oleh wartawan SH, Tutut Herlina dan Web Warouw.


Sejumlah nama pemimpin negara itu terpampang di selembar kertas yang disodorkan seorang kader partai politik akhir bulan Juli lalu. Mereka antara lain Presiden Venezuela Hugo Chavez, Presiden Rusia Dimitri Medvedev, Presiden Bolivia Evo Morales, dan Perdana Menteri Rusia Vladimir Vladimirovich Putin. mereka dinilai mewakili ”takdir” dunia saat ini, yakni sebuah dunia di bawah kepemimpinan kaum muda. Mencoba mengikuti tren yang terjadi di dunia itu pula, Indonesia yang akan menghadapi pemilihan umum (Pemilu) pada 2009 mendatang juga terinspirasi perlunya menghadirkan pimpinan muda. sejumlah nama pun bermunculan, dari Rizal Mallarangeng, Fadjroel Rachman dan Yuddy Chrisnandi. Mereka menantang para calon pimpinan tua seperti Megawati Soekarnoputri, Wiranto, Prabowo, Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla. 

Akankah mereka bisa sama? Mari lihat latar belakangnya, Hugo Chavez adalah seorang kolonel tentara Venezuela yang revolusioner. Bersama dengan teman-temannya dia memulai perjuangan sejak tahun 1970. Nama organginisasinya MBR 200 (Gerakan Bolvarian Revolusioner), gerakan terpadu antara rakyat dengan militer bersenjata. Ia sangat terinspirasi dengan pemimpin revolusi China Mao Zedong yang menyebutkan bahwa ”tentara dan rakyat ibarat ikan di dalam air”. Ia sempat dipenjara karena melakukan pemberontakan bersenjata.

Namun, ia tak surut untuk terus melakukan perjuangan dan bersatu dengan rakyat menghadapi penghisapan kaum pemilik modal dan pemerintahan AS yang berkolaborasi erat dengan pemerintahan di negeri itu. Ia akhirnya memenangkan pemilu dengan massa yang menerimanya dengan antusias. begitu berkuasa, ia memiliki konsepsi sosialisme abad 21 dan melakukan nasionalisasi. 

Pun demikian dengan Evo Morales. Ia memulai perjuangan dari awal dengan
mendampingi para petani kakao yang umumnya berasal dari Suku Indian. Evo yang juga berasal dari Suku Indian itu akhirnya dipercaya menjadi presiden lewat pemilu. pengalamannya bersama kaum papa, telah membuatnya bercita-cita untuk berdiri tegak di samping mereka. Dia dengan keras melawan arogansi pemilik modal maupun negara Barat yang telah melakukan neokolonialisme. Tak tedeng aling-aling, ia nasionalisasi sejumlah perusahaan minyak swasta karena selama ini tak pernah ada keuntungan untuk rakyat Bolivia. Ia tak peduli dengan ancaman arbitrase internasional. 

Vladimir Putin adalah mantan seorang anggota polisi rahasia Uni Soviet (KGB). dalam usianya yang masih muda, dia sudah menjadi anggota Partai Komunis Uni Soviet (PKUS). Namun, seiring runtuhnya Uni Soviet ia meninggalkan profesi itu. didorong dengan rasa cinta tanah air yang kuat dan penderitaan rakyat akibat campur tangan AS dan Eropa Barat, ia bertekad untuk memulihkan keadaan. bersama dengan anggota KGB lainnya ia melakukan operasi diam-diam hingga naik ke tampuk kekuasaan. Tugas pertamanya adalah menyingkirkan kaum oligarki atau pemilik modal dari panggung politik karena mereka telah mengakibatkan penderitaan rakyat. 

Ia menghapus kaum oligarki sebagai sebuah kelas. Ia juga menasionalisasi BUMN yang sebelumnya telah diprivatisasi. Medvedev sendiri merupakan penerus Putin, yang sebelumnya selalu bersama-sama ”menumpas” kaum oligarki. Pergerakan dari Bawah ….? 

Lantas bagaimana dengan tokoh-tokoh di Indonesia? Rizal Mallarangeng tersohor sebagai pengamat politik. Ia membawakan acara di televisi swasta. Ia memiliki lembaga swadaya masyarakat (LSM) Freedom Institute yang dekat dengan Menko Kesra Aburizal Bakrie yang juga pemilik PT Lapindo Brantas. Luapan lumpur panas PT Lapindo sendiri saat ini telah menenggelamkan beberapa desa di Sidoarjo. 

Melalui Freedom Institute pula, Rizal mendukung kenaikan harga bahan baker minyak (BBM) pada tahun 2005. Ia juga dikenal sebagai intelektual yang propasar bebas. Sementara itu, Fadjroel Rahman sering menjadi moderator maupun pengamat yang dimintai pendapatnya di media massa. Pada zaman Orde Baru (Orba) ia pernah dipenjara karena menentang Soeharto. Saat ini, ia memiliki lembaga Pedoman. adapun Yuddy Chrisnandi adalah seorang anggota Partai Golongan Karya (Golkar), sebuah partai warisan Orba. Ia dikenal suka bicara melawan arus partainya. Pendapatnya sering dikutip oleh media massa. Namun, tak pernah terdengar sepak terjangnya memulai pergerakan dari bawah, bersama-sama rakyat yang menderita. begitu pula dengan tokoh tua, Megawati pernah menjadi ikon perlawanan rakyat terhadap rezim Soeharto. Ia juga dipandang memiliki kharisma ayahnya, Presiden Soekarno. Namun, begitu berkuasa pada 2001-2004, sejumlah UU yang proneoliberalisme dibuat, misalnya UU Sumber Daya Air (SDA), UU Tenaga Listrik, UU Minyak dan Gas Bumi, serta UU Pertambangan di Hutan Lindung. Pada saat itu juga terjadi privatisasi besar-besaran atas BUMN, salah satunya divestasi Indosat.

Wiranto adalah mantan ajudan Presiden Soeharto yang dipaksa lengser dari
kekuasaannya oleh kekuatan rakyat. Ia pernah menjadi Menhankam/Pangab dan dituduh terlibat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Timor Timur (Timtim), kasus Mei, maupun penculikan orang secara paksa. 

Begitu juga dengan Prabowo Subianto. Mantan Danjen Kopassus dan menantu Presiden Soeharto itu dituding terlibat pelanggaran HAM, kerusuhan Mei 1998 dan penculikan orang. Ia tidak pernah datang ketika dipanggil oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sementara itu, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, dipilih oleh rakyat sebagai Presiden untuk periode 2004–2009. Yudhoyono dari kalangan militer, sedangkan Kalla seorang saudagar. Pada masa kepemimpinannya tersebut, harga BBM sudah naik dua kali. Oleh kalangan aktivis dan mahasiswa, mereka dituding terlalu tunduk pada kemauan AS, salah satu contohnya adalah penyerahan Blok Cepu pada Exxon Mobil Oil. 

Ternyata dengan semua latar belakang yang ada, berpatokan tua dan muda tidaklah cukup. Indonesia membutuhkan pemimpin yang berkualitas yang bisa lahir bersama-sama dengan rakyat. Jika ada sosok muda seperti Chavez, Indonesia akan mengalami kemajuan dan sejajar di dunia. Begitu pula jika ada sosok tua seperti Mao Zedong yang menjadi panutan Chavez maupun Deng Xiaoping, Indonesia juga bisa seperti China.


Namun, jika kualitas mereka tak sama seperti Chavez ataupun Mao yang melayani rakyat tertindas, jangan harap negara adil makmur bisa tercipta. Kesetaraan negara membutuhkan pemimpin sejati, bukan calon pemimpin yang gemar beriklan atau membuat opini,
 

Kereta yang Masih Tertinggal di Stasiun Tua 
”Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? .... Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni demokrasi ekonomi dan politik yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial!” (Soekarno 1 Juli 1945)

Pertengahan abad 20 merupakan abad kebangkitan dari negara-negara dunia ketiga yang umumnya ada di benua Asia dan Afrika. Mereka sadar bahwa kolonialisme harus hengkang dari bumi pertiwi. Jalannya adalah revolusi, melawan sistem penindasan dan penghisapan negara-negara Barat. di antara negeri-negeri yang mencapai kemenangan itu ada Indonesia. Dengan membawa mimpi besar akan kesejahteraan rakyat, negara kepulauan ini mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1945. Selanjutnya, India merdeka pada 1946, Republik Rakyat China (RRC) merdeka 1949, dan jauh setelah itu Vietnam, yang mendapatkan kemerdekaan pada tahun 1976.

Namun, apa yang terjadi setelah itu? Setelah luluh lantak karena dibombardir oleh kekuatan senjata Amerika Serikat (AS), Vietnam harus menghadapi tekanan internasional berupa embargo politik maupun ekonomi. Oleh sejumlah pihak, embargo asing ini disebut sebagai kebijakan menutup diri. dengan kekuatan sendiri di bawah kepemimpinan Partai Komunis Vietnam (PKV) dan bantuan negara tetangganya, China, Vietnam selanjutnya membenahi ekonomi. Tak mau didikte asing, mereka menitikberatkan pada pembangunan industri dasar dalam negeri dan ekonomi terencana. 

Hasilnya, sekitar tahun 1990–an, salah satu negara anggota ASEAN tersebut
ekonominya mulai mengalami peningkatan. Bandul krisis moneter pada tahun 1997 sempat menghantam negara itu, tapi dalam waktu singkat Vietnam telah pulih. 

Negeri dengan penduduk sekitar 80 juta jiwa itu kini menjadi incaran investasi asing. Banyak industri yang tadinya menanamkan investasinya di Indonesia, kini mengalihkan ke Vietnam. Meski ekonominya terbuka terhadap pasar, regulasi maupun sektor publik tetap dikuasai oleh negara. Tanah tetap menjadi milik negara dan rakyat hanya menggunakannya. 

Adapun China seusai memenangkan revolusi masih menghadapi masalah dalam negeri ditambah dengan tekanan internasional yang luar biasa. Namun, dengan semangat teguh ”tak ingin didikte asing”, China pelan-pelan bangkit. Itu pulalah yang membuat China harus masuk ke dalam perang Korea menghadapi pasukan AS. Bagi China, AS hendak menyerang China dan ingin mengembalikan Chiang Kaisek yang dikalahkan oleh Partai Komunis China (PKC) di bawah kepemimpinan Mao Zedong. Akibat perang tersebut, China diembargo oleh AS dan sekutunya hingga akhir tahun 1970–an, sehingga China hanya bisa bergantung pada hasil-hasil penyelundupan dari Inggris. 

Masalah dalam negeri juga tak kalah peliknya. Kebijakan lompatan besar ke depan (great leap forward) pada 1958 telah mengakibatkan angka kelaparan yang tinggi, namun di sisi lain, negeri itu bisa membangun industri baja dalam negeri. Selain itu, ”Revolusi Kebudayaan” yang tadinya dipersiapkan sebagai landasan masyarakat yang kokoh pada akhir abad 20 membawa kekacauan yang dahsyat karena ideologi ekstrem kiri. namun, dengan bimbingan PKC, China meneruskan revolusinya dengan mengganti namanya menjadi reformasi. Di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, China melaksanakan politik pintu terbuka dan empat modernisasi yang telah digariskan oleh Mao Zedong dan diproklamirkan Perdana Menteri Zhou Enlai pada 1975.

Selanjutnya, China dipenuhi dengan cerita yang spektakuler. Negara-negara Barat yang tadinya mengembargo mulai menjalin kerja sama karena China dengan penduduk 1,3 miliar adalah ”pasar emas” bagi setiap komoditi. Hanya saja, sekalipun menganut politik pintu terbuka, pemerintah China tetap memegang regulasi dibidang perekonomian. 

Pasar swasta dilindungi tetapi BUMN tetap dominan memegang peranan besar. kehebatan ekonomi China itu, baru-baru ini ditunjukkan lewat pembukaan Olimpiade Beijing yang terhebat sepanjang sejarah. China sekaligus telah meruntuhkan mitos bahwa jumlah penduduk besar menyulitkan pembangunan. Justru sebaliknya, China membuktikan bahwa faktor pembangunan terpenting adalah manusia.

India dengan jumlah penduduk nomor dua di dunia setelah China, mengawali pembangunannya usai kemerdekaan dengan gerakan swadesi, yakni menggunakan produk sendiri. Negeri ini memilih untuk mengubah pelan-pelan terhadap budaya dan masyarakatnya. Prioritas pembangunannya adalah pendidikan dan kesehatan rakyat. hasilnya, India ”memproduksi” banyak sarjana teknologi informasi (IT). India juga merupakan salah satu negara pemilik nuklir. Bersama-sama dengan China, India saat ini telah menjadi kekuatan yang dipertimbangkan dunia. Tidak adanya titik temu antara AS dengan India dan China dalam pertemuan organisasi perdagangan dunia (WTO) baru-baru ini menunjukkan dua negara itu menjadi penyeimbang arogansi Barat.

Jumat, 20 Juni 2008

Senin, 09 Juni 2008

KEWAJIBAN KAUM INTELEKTUAL BAGI REPUBLIK

           
"Seribu pahlawan bisa lahir dan mati dalam satu hari di negeri ini. Tetapi tak seorang pun ada yang peduli di tanah air kita ini….Dulu dalam kegelapan, seekor kunang-kunang pun bisa menjadi bintang. Sekarang bintang-bintang yang lahir malah dipadamkan."
                                                                                                  (Pramoedya Ananta Toer)
Membicarakan sosok yang satu ini, memang takkan ada habisnya. Seorang yang tanpa basa-basi, meledak-ledak, tak merunduk, serupa api membakar, beradu seperti alu dan beras. Dan kemarahan itu terutama sekali ditujukan kepada kolonialisme, feodalisme, Liberalisme, kapitalis, kelaliman penguasa, dan terutama kepada sang korup. Ya bung Pramoedya Ananta Toer. Sosok yang tak ada habisnya, sosok yang akan selalu dikenang di dalam dunia sastra republik ini, dunia sastra untuk sebuah perlawanan terhadap kesewenang-wenangan.

Apabila kita coba telaah konsepsi-konsepsi pemikiran dari bung Pram, akan tersirat berbagai harapan bagi kaum intelektual Indonesia, agar bisa menjadi kaum yang mengabdikan keilmuannya untuk kemanusiaan, keadilan serta nilai-nilai kebenaran yang kian hari, kian surut di republik ini. Dimana si bung mengatakan “Dan bagi saya, keindahan itu terletak pada kemanusiaan, yaitu perjuangan untuk kemanusiaan, pembebasan terhadap penindasan. Jadi keindahan itu terletak pada kemurnian kemanusiaan, bukan dalam mengutak-atik bahasa.”

Karena itu, tugas kaum intelektual adalah menegakkan kesejahteraan sosial dan meralisasikan nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, karena tetes keringat dan usaha rakyatlah maka kelompok kelas menengah di Indonesia, bisa menikmati fasilitas pendidikan, yang kemudian menjadikan mereka sebagai kelompok masyarakat yang terpandang dan memiliki kelebihan dibanding masyarakat awam.

Lalu dimanakah tanggung jawab sosial kelas menengah ini? Mari dengar ungkapan bung Pram, “Aku menulis, bicara, berbuat, tidak pernah khusus untuk diri sendiri, langsung atau tidak, tak ada seorang seniman berseni untuk diri sendiri, masturbasi. Ada faal social di dalamnya, makin dikembangkan faal social itu semakin baik. Tak ada orang makan untuk makan.”

Tanggung jawab sosial inilah yang harus diperhatikan kaum intelektual di Indonesia. Terlebih kelompok kelas menengah ini, memiliki kecenderungan untuk berdiri di dua sisi: mereka bisa terus berada di garis untuk mengabdikan kemampuan intelektualnya bagi nilai-nilai kemanusiaan atau mereka akan mengabdikan kemampuan intelektual mereka untuk kepentingan individu mereka.

Di satu pihak, dengan munculnya efek industrialisasi, sebagian besar kaum intelektual terserap ke dalamnya, menjadi tenaga-tenaga ahli untuk menjalankan perputaran roda-roda industrialisasi. Di dalam dunia itu, mereka dituntut untuk memiliki profesionalisme dan loyalitas yang tinggi kepada sang majikan, tempat mereka mengabdikan ilmunya tersebut. Akibatnya, tidak jarang nilai-nilai kemanusiaannya terkebiri, cenderung menggiring manusia, khususnya kaum-kaum intelektual teralienasi dari nilai-nilai sosial. Untuk soal ini, bung Pram mengungkapkan, “Bangsa Indonesia adalah”een natie van koelies, en een koeli onder de naties”(bangsa yang terdiri dari kuli, kuli di antara bangsa-bangsa). Kuli ini sebenarnya terbagai atas dua golongan: yang meneteskan keringat dan yang tidak. Yang tidak berkering dinamai priyayi. Apakah para ahli dan sarjana itu datang ke desa sebagai yang tidak berkeringat menengok yang berkeringat??...Bukankah sebelum pertanian dapat ditingkatkan jadi industri, sebelum dihapusnya pembatasan tanah sampai 2-3 ha, tani masih tetap golongan yang berkeringat dan berkedudukan setinggi lutut berbanding yang tidak berkeringat??..selama keadaan tani masih tetap sebagai penyembah tanah, kedudukan sosialnya tetap seperti jaman batu, dan kolonial.”

Ketika para intelektual telah melupakan kewajiban sosialnya, maka diibaratkan republik ini akan kehilangan rohnya, kehilangan induk ataupun kehilangan sutradara dari sebuah lakon perubahan sosial. Sang sutradara telah diambilalih oleh sebuah kekuatan besar yang telah membelokkan kewajiban sosial dari kaum intelektual Indonesia. Dari yang harusnya bertanggung jawab sepenuhnya kepada kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran menjadi bertanggung jawab kepada mesin-mesin industrialisasi. Maka, bung Pram pun mengutarakan, dalam sejarah umat manusia selalu bisa ditemukan bangsa-bangsa besar yang jatuh menukik jadi bangsa kelas kambing, bangsa yang mengadabkan umat manusia jatuh jadi bangsa penggembala, bahkan bangsa Indonesia yang pernah merajai lautan bisa jadi bangsa kuli selama tigaratus limapuluh tahun atau bahkan seterusnya, bangsa Indian yang merajai perairan tanpa tepi, bisa tersorong masuk dalam reservat para pendatang dan punah. Sekarang, tinggal bagaimana kaum intelektual Indonesia memilih.***

Rabu, 04 Juni 2008

KEMISKINAN MENGANCAM KEBHINEKAAN.










Isu BBM yang seksi itu mungkin adalah sesuatu yang dapat meruntuhkan kapital simbolis, meminjam Pemikiran dari Pierre Felix Bourdieu system ekonomi dimana posisi dan kuasa ditentukan oleh uang dan harta dan system budaya atau simbolik. Dalam system tersebut status seseorang akan ditentukan oleh banyaknya modal simbolik atau modal budaya yang dimilikinya sebagai sumber dominasi. isu BBM bukanlah sekedar mendiskreditkan pemerintah SBY JK, ISU bbm bukan semata mata target politik pembusukan istana namun diharapkan menjadi momentum kepada sebuah cita cita kebangsaan yang pada tahun pergerakan berhasil mengusir penjajah dari tanah persada, dengan mengukir asa dalam sebuah piagam pembukaan UUD 45, tentang sosialisme kebangsaan, persatuan, dan kemanusiaan yang adil dan beradab, dan keadilan sosial , saatnya bangsa ini memiliki seorang pemimpin (yang memiliki jati diri dan keberanian mandiri secara ekonomi, mampu menegakkan kedaulatan bangsa dan harga diri bangsa

Sebelum meneruskan, presentasi ini bukanlah sesuatu yang final ,masih berpeluang untuk diperdebatkan, penulis bersandar pada data empiris dalam geopolitik tanah air dan semoga bermanfaat sebagai pisau analisis metode berpikir kita semua.

Belum kering ingatan kita akan kebijakan pemerintah yang gemar menaikkan BBM, dengan beragam alasan yang dirumuskan secara konstitusional dalam UU APBN yang mengacu kepada defisit anggaran akibat prediksi harga minyak mentah internasional yang fluktuatif. Meski terkesan basi tetapi fakta itulah yang terjadi pada kebijakan energi pemerintah dari rezim berganti rezim. Artinya bahwa wewenang DPR yang memiliki hak budget turut berperanan dalam mengelola energi nasional, ..... ....

Seratus tahun kebangkitan nasional Indonesia pada tanggal 20 mei 2008 dirayakan pemerintah secara megah dan kolosal dengan melibatkan puluhan ribu pendukung acara tersebut, momentum ini bagusnya menjadi mesiu yang efektif memperbaiki kesejahteraan rakyat , tetapi yang terjadi sungguh mengejutkan yaitu dengan keputusan pemerintah menaikkan BBM sebesar 30 % setelah sebelumnya pada awal tahun 2005 pemerintah telah 2 kali menaikkan harga BBM sebesar 160%, kenaikan BBM ini direspon dengan berbagai unjuk rasa penolakan dari mahasiswa yang eskalasinya semaikn meningkat , unjuk rasa penolakan kenaikan BBM tersebut tidak hanya terjadi di ibukota jakarta namun terjadi juga diseluruh pelosok negeri tidak terbatas pada mahasiswa saja namun sudah berbaur dengan elemen masyarakat lainnya, dan klimaks dari kegeraman mahasiswa tersebut berujung pada penyerbuan aparat polisi kedalam kampus universitas nasional dan menjebloskan 150 mahasiswa kedalam tahanan polres jakarta selatan , meski demikian peristiwa itu bukan menyurutkan langkah para civitas akademika di Indonesia namun memicu gerakan mahasiwa yang lebih masif hampir mendekati kristalisasi, namun sayang pemukulan seorang aktivis mahasiswa terhadap polisi di depan kampus universitas dr Mustopo membalik opini yang di blow up seluruh media cetak dan elektronik, dengan topik bahasan bahwa demo BBM berubah anarkis, mahasiswa kehilangan simpati masyarakat karena unjuk rasa itu tidak dilakukan dengan santun mahasiswa anarkis mirip preman, caci maki itu bahkan menjadi perdebatan di komentar Detik Com..

Kita semua menyaksikan sebuah permainan yang belum sempat usai...!!
panggung itu yang sempat menjadi harapan rakyat akan sebuah perubahan dari kutukan BBM, telah beralih menjadi panggung penyerbuan sebuah ormas FPI kepada ormas aliansi keberagaman yang sedang bersiap melakukan perayaan lahirnya Pancasila 1 juni 1945, sore hari itu dikejutkan dengan berita penyerangan dan pemukulan sepihak dengan jatuhnya puluhan korban, yang dikenal dengan peristiwa Monas, seakan sistematis penggantian panggung itu beralih dari kekerasan di kampus Unas kepada kekerasan yang terjadi di Monas, hiruk pikuk media cetak dan elektronik memblow up haru biru kekerasan yang terjadi di Monas, kali ini Pemerintah melakukan tugasnya dengan benar dalam rangka penegakkan hukum, gambar seorang Habib dan munarman menuntut ahmadiyah bercampur dengan gambar juru bicara istana berapi api ingin membela pluralisme, ....” 3 orang ini layaknya bagai artis terkenal yang menjadi bintang di televisi..” ingin sekali rasanya ikut berpesta melihat ribuan polisi menyerbu markas FPI, meski pertanyaan berkecamuk dikepalaku karena yang hendak ditangkap ternyata hanya puluhan anggota FPI, secara tidak langsung FPI ditempatkan dalam posisi yang sangat diperhitungkan, bahkan bapak Kapolda Adang Firman tidak tidur hingga pagi hari menunggu pihak FPI menyerahkan diri, drama itu cukup menegangkan masyarakat karena diliput secara langsung oleh televisi.....”

30 menit sebelum peristiwa monas terjadi ditempat itu PDI Perjuangan baru saja menyelesaikan gerak jalan dengan tema gebyar pancasila melibatkan 150 000 kader PDIP untuk memperingati hari lahirnya Pancasila, dan dengan massa sebanyak itu PDI Perjuangan berhasil mendisiplinkan kadernya dengan damai tanpa gesekan sekecil apapun, sayang sekali acara yang kolosal itu hanya selintas tampil dimedia tanpa apresiasi, keburu panggung itu beralih menjadi panggungnya kekerasan perisiwa monas.

Ingin sekali saya membangunkan ingatan pemerintah kita, hendaknya tindakan hukum tidak hanya kepada ormas FPI saja dalam kasus kekerasan di Monas, namun juga menengok terjadinya kekerasan demi kekerasan yang telah sekian lama berlangsung sistematis didaerah yang dilakukan atas dasar kebencian terhadap rumah rumah ibadah yang dibakar juga ribuan orang yang terusir dari kampungnya akibat perbedaan paham, kasus kasus pelanggaran hak asasi manusia tersebut selama ini justru terkesan pembiaran, hendaknya penuntasan kasus tersebut beriringan dengan bobot yang sama secara komprehensif, demokrasi menjamin aspirasi yang sudah diatur dalam UUD 45 dan Undang Undang. Bahwa kenaikan BBM dampaknya juga menjadi pemicu terjadinya kekerasan tidak hanya dalam wilayah domestik belaka namun juga merusak tatanan sosial masyarakat, kemiskinan akibat kenaikan BBM akan menimbulkan distorsi dan deviasi sosial di masyarakat.

Hendaknya rasa aman dan nyaman masyarakat harus dapat dijamin oleh Pemerintah, bahwasanya kebinekaan kita akan terjaga manakala masyarakat mendapatkan hak dan kewajibannya secara seimbang , yang dapat MEMASUNG kebinekaan hanyalah kemiskinan dan kebodohan, bahwa kemiskinan MENGANCAM berlangsungnya kebinekaan, dan menurut konstitusi yang bertanggung jawab membebaskan masyarakat dari kemiskinan dan Kebodohan adalah Pemerintah, sedangkan media sebagai PILAR DEMOKRASI harus memiliki kepedulian sebagai AGEN PERUBAHAN tidak menjadi alat dari kepentingan golongan manapun, mendidik masyarakat dengan informasi yang jujur dan tidak melakukan pembodohan kepada rakyat, bisa dipahami bahwasanya sebagai manusia mensiasati KEHIDUPAN wajib dilakukan tetapi tidak boleh mensiasati KEBENARAN................... “

Minggu, 01 Juni 2008

INFILTRASI ASING TERHADAP KEDAULATAN BANGSA.

Kenaikan harga BBM sebenarnya merupakan satu bagian kecil dari upaya liberalisasi sektor migas di negeri ini. Nantinya, Pertamina, perusahaan miyak yang selama ini menjadi pengelola tunggal itu akan bersaing dengan lebih dari 40 perusahaan migas asing yang sudah mengantongi izin untuk membuka 20.000 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di seluruh Indonesia, dengan harga standar internasional. Berikut ini perbincangan dengan Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada Drs. Revrisond Baswir, M.B.A, yang ditemui dalam Seminar Peringatan Hari Lahir Pancasila, di Gedung DPR, Jakarta. Berikut petikannya:

* Kenaikan BBM ini kedepannya akan berdampak seperti apa?
Untuk mengetahui dampak kenaikan harga BBM, kita harus tahu persis latar belakang dan motivasi. Kalau menurut pemerintah, latar belakangnya apakah untuk mengoreksi yang tidak tepat sasaran, untuk menghemat konsumsi BBM, termasuk untuk menghindari penyelundupan dan sebagainya. Saya kira itu alasan yang dicari-cari, bukan penjelasan namun justru mengaburkan dari motif sebenarnya. Alasan yang sebenarnya adalah sejak pemerintah menandatanganani LOI 1998 di mana kita tunduk pada IMF untuk melepas harga BBM ke harga internasional. Ini sebenarnya bukan soal kenaikan, tapi soal proses bertahap melepas harga BBM ke harga pasar sesuai garis IMF, dan itu sudah difollow up oleh pemerintah yang sejak 1999 sudah membuat draft UU Migas yang baru, tapi pada waktu itu bentrok dengan Pertamina. Lalu pada tahun 2000, Amerika masuk lewat USAID menyediakan utang untuk memulai proses liberalisasi sektor migas itu. Salah satu yang dikerjakan USAID dalam rangka liberalisasi itu adalah menyiapkan draft UU yang baru, bekerjasama dengan IDB dan World Bank menyiapkan reformasi sektor energi secara keseluruhan. Dalam UU Migas jelas, pasal 28 ayat 2 UU migas mengatakan harga BBM dilepas ke mekanisme pasar, sudah jelas itu.

Yang jadi masalah kemudian, segera setelah UU Migas keluar, pemerintah segera membuka izin bagi perusahaan-perusaha an asing untuk masuk ke berbagai tahap dalam proses migas di tanah air, mulai dari hulu sampai ke hilir. Dan bahkan mereka mengendalikan izin untuk perusahaan asing untuk membuka SPBU, sampai lebih dari 40 perusahaan yang sudah pegang izin untuk membuka SPBU itu. Masing-masing perusahaan diberi kesempatan membuka sekitar 20.000 SPBU di seluruh Indonesia. Target mereka sebenarnya pada 2005 harga BBM sudah bisa dilepas ke pasar, hanya saja di tengah jalan UU migas dibawa ke Mahmakah Konstitusi (MK) oleh serikat pekerja pertamina, disidangkan di MK. Dan pasal 28 tentang pelepasan harga ke pasar itu dibatalkan MK, karena bertentangan dengan konstitusi. Itu sebenarnya yang menggganjal.

Masalahnya mereka kan tidak mau menyerah, setelah dinyatakan UU itu bertentangan dengan konstitusi, mereka jalan terus dengan istilah baru, dari istilah harga pasar menjadi "harga keekonomian" , itu hanya untuk berkelit saja. Karena harga pasar dilarang MK, maka ganti yang lain, tetapi maksudnya sama. Isu yang tepat dalam kasus ini adalah liberalisasi sektor migas dan pelepasan harga BBM ke harga pasar. Jadi kalau kita lihat, setelah rencana itu gagal tahun 2005, dan muncul istilah harga keekonomian. Maka kini target pemerintah sesuai dengan apa yang diakatakan oleh Pak Budiono (Menko Perekonomian, dulu), setelah naik pada 24 Mei kemarin, diperkirakan pada September 2008 akan naik lagi secara bertahap, sampai ditargetkan selambat-lambatnya 2009 sudah sesuai dengan harga pasar minyak dunia. Sama dengan patokan di New York, kalau dieceran mencapai Rp 12.000 per liter.

* Keuntungan apa yang akan diambil dari kebijakan melepas harga BBM ke pasar?
Bukan itu isunya. Isunya hanya dengan melepas harga BBM ke pasar, hanya dengan cara itu SPBU-SPBU asing itu mau beroperasi di sini. Kalau harga bersubsidi bagaimana SPBU asing bisa beroperasi dan bersaing dengan Pertamina, ini masalahnya. Masalahnya soal menangkap peluang investasi. Ada perusahaan asing ingin membuka SPBU asing, berarti SPBU asing ini mau melakukan investasi, tetapi SPBU asing hanya bisa jualan BBM, kalau BBM-nya sesuai dengan harga pasar. Jadi masalah ini saja, soal pasar. Pengakhiran monopoli Pertamina, pembukaan peluang bagi asing untuk berbisnis eceran BBM, dan seterusnya.

* Seperti sekarang ini Petronas dan Shell sudah membuka SPBU-nya?
Makanya akibat kenaikan BBM tahun 2005, Shell buka, Petronas juga buka. Tapi apakah masuk akal kalau orang membuka SPBU itu hanya Jabotabek saja, gak mungkinkan, izin yang mereka peroleh, mereka boleh buka 20.000 SPBU di seluruh Indonesia, nah ada 40 perusahaan lebih yang punya izin. Bisa dibayangkan, berapa banyak SPBU yang akan berdiri, dan bukan hanya Jabodetabek, tapi juga seluruh Indonesia.

Pertamina sendirisudah memperkirakan hanya akan mampu menjual maksimal 50 persen saja, 50 persennya akan diambil oleh SPBU-SPBU asing itu. Nah kalau 2009 dilepas ke pasar, rencana terakhir pemerintah adalah bahwa sektorswasta bisa masuk ke bisnis eceran migas dilakukan secara penuh baru pada tahun 2010. Jadi bukan masalah BBM naik, kemiskinan, BLT, bukan isu itu tapi mereka menganggap ini hanya dampak saja. Lalu kemudian bagaimana dampak itu diperlunak. Tetap saja mereka akan jalan terus dengan agendanya, bagaimana membuat sektor migas hingga terpenuhi sesuai harga pasar. Saya kira isu lifting tidak relevan, karena ini isunya bukan naiknya berapa persen, bukan itu. Isunya adalah soal melepas harga itu, jadi pemerintah ingin lepas tangan dari urusan harga BBM. Dia gak mau mengatur mau naik, mau nggak naik, dia mau lepaskan, jadi isu lifting menjadi tidak penting. Apalagi kalau SPBU beroperasi di sini, gak penting lagi, sumber migasnya darimana, mau impor 100 persen, ya boleh. Itu dia, justru itu malah mengaburkan masalah dari pokok masalah kita.

* Masalah ini sekarang sudah mulai masuk ke ranah politik, ada wacana mengimpeach Presiden. Bagaimana ini?


Soal pemakzulan Presiden, kalau kita bicara UU migas, kemudian UU Kelistrikan, kemudian UU APBN, yang terkait dengan subsidi dan lain-lain itu kan atas persetujuan DPR, jadi proses liberalisasi ini juga berlangsung atas persetujuan DPR. Kalau akan dimakzulkan bukan saja Presiden, tapi juga DPR-nya juga dimakzulkan. Dan itu terbukti di MK, jadi yang melanggar konstitusi bukan hanya pemerintah, tapi juga DPR. Inilah yang menjadi problem sekarang, jadi secara politik masalah ini sangat kompleks, karena belum ada aturan, bagaimana apabila pelanggaran konstitusi dilakukan Presiden dan DPR. Nah ini tidak ada UU-nya, saya sudah menanyakan hal ini kepada hakim agung, celakanya pelanggaran konstitusi ini tidak hanya sekali. UU Listrik batal demi hukum, karena melanggar konstitusi, UU Migas pasal mengenai harga pasar batal karena melanggar konstitusi, UU Penanaman Modal pasal mengenai Hak Guna Usaha karena melanggar konstitusi, UU APBN tiga tahun berturut-turut melanggar konstitusi, ini masalah kita.

* Akar permasalah dari kebijakan melepas BBM ke harga pasar?
* Masalahnya adalah apa yang disebut dengan Neokolonialisme dan Neoliberalisme.

* Solusinya bagaimana?
Solusinya, kita harus memperteguh kembali komitmen sebagai bangsa terhadap cita-cita proklamasi dan amanat konstitusi, ini harus ditegakan kembali. Setelah ini baru mengoreksi semua penyimpangan- penyimpangan, apakah itu kebijakan, peraturan pemerintah, UU, semua itu harus ditertibkan kembali. Karena menurut perkiraan Ketua Mahmakah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, 27 persen UU melanggar konstitusi, harus dibereskan dulu. Dari situ baru kita lihat dampak turunannya apakah kepada kontrak bagi hasil, harga BBM, harga listrik, dan lain-lain. (novel)

Sabtu, 31 Mei 2008

IMAGINATIF MEMBANGUN KREATIFITAS

Ada pertanyaan, mengapa orang kreatif biasanya imajinatif..? Jawabannya, orang kreatif pasti memamfaatkan imajinasinya. Arti kreatif adalah memadukan sebuah perjalanan impian dengan nyata. Misalnya, seorang yang berimajinasi sebagai seorang intertaint, ia harus mensosiasikan diri menghibur penonton diatas pentas, bak konser seorang diva. Namun, tidak berhenti disitu ia harus mau terus tekun berlatih untuk mengujudkan menjadi penghibur sejati, tapi tak guna jika hanya menghayal tanpa ada reaksi. Yang kreatif, tekun belajar, melatih diri imajinasi, berlahan tetapi pasti hasratnya menjadi kenyataan.

David Thornburg, seorang pengamat kreativitas menyarakan berpikir saat-saat bahagia dalam hidup membantu membangunkan kreativitas. Contohnya, membanyangkan apa yang ingin dicapai, entah memulai menulis buku, menyiapkan pidato. Penting persiapan yang matang sampai satu saat tiba pada pokok. Jika momen-nya tiba, ibarat seorang pemain bola menendang terarah. Maka melalui latihan panjang seseorang menjadi maestro. Norman Vince Peale; menurutnya, visualisasi dalam hubungan antarpribadi tentang kreatif. Yang penting menurutnya kreatif harus dilakukan tiap-tiap hari.

Perpaduan kreatif dan imajinasi kelak mengakumulasi merubah paradigma tidak mungkin menjadi mungkin. Jadi, kreatif itu tidak jauh dari kehidupan berlatih. Dengan terbiasa berlatih, akan menghasilkan kepribadian dan memperbesar kesempatan untuk mengapai sukses dalam usaha. Untuk mengasah keduanya seseorang harus menggerakkan kebiasaan menjadi budaya. Salah satu adalah meluangkan waktu limabelas menit per hari relaksasi (meditasi), mengasah mediasi imajinasi dan kreasi. Sebab, kemampuan kreasi dan imajinasi selalu beriringan mengkristal menjadi hasil. Itu sebabnya Albert Einstein menyebut imajinasi lebih penting daripada penemuan sains, sebab, imajinasi adalah kekuataan.

Bill Gates miliarder dunia menyebut, imajinasi dan kreatrif lebih penting ketimbang teknologi. Sebagai pengagas piranti lunak, ia melihat dampak imajinasi dan kreativitas menghasilkan produk bermutu. Produk berkualitas lahir dari tangan-tangan imajinatif, ispiratif dan kreatif. Motor merek Honda pasti lebih bermutu dari motor brand Beijing. Walaupun sama-sama dibuat orang Asia, latar belakang kreasi dan imajinasinya berbeda.

Amerika hebat karena sistim memberikan kebebasan pada setiap orang mengembangkan imajinasi dan kreatif, sehingga kreativitas itu mengerakkan power yang akhirnya membangun orang-orang yang berimajinasi. Contohnya orang kreativitas disokong imajinasi, Bill Gates mengagas; satu komputer bagi setiap rumah. Mendorongnya menghasilkan Microsoft. Akhirnya, Bill Gates menjadi salah satu manusia yang membuat sejarah, paling tidak nomor dua di Inggris berpengaruh setelah sistim hirakri kerajaan. Itu terjadi dari imajinasi menjadi kreator (menciptakan produk).

Proses kreatif tidak hanya berhenti pada daya imajiner. Dibutuhkan kekuatan untuk merancang aspek-aspek-lain pada kehidupan nyata. Misalnya, bila seorang pelukis menemukan imainasi, lalu dimulai menuangkan garis di kanvas, dan warna dalam satu grand design, lukisannya menjadi pemandangan yang indah meneduhkan jiwa. Demikian pula seorang sastrawan, memilih tema, plot, karakter tulisan lalu lihai mengocok kata-kata--hingga orang dibuat emosi, menangis atau terkekeh-kekeh membaca karyanya.

Otak dan Imajinasi

Perspektif kebanyakan menilai otak menjadi sumbu semua kreasi. Namun imajinasi (jiwa) masih tetap berlaku dan berguna. Kemampuan otak hubungannya kreativitas. Otak manusia mampu menampung tigapuluh milliar bit informasi per detik. Otak juga bisa jutaan kali lebih jitu mengirim sinyal daripada kemampuan komputer. Albert Estaein misalnya hanya mengunakan pikirannya satu persen, sembilanpuluh sembilan persen lagi adalah kerja keras. Hal yang sama dikatakan Motivator ulung Tung Dasem Waringin pelatih nomor satu Indonesia persi majalah Marketing; kesuksesan tergantung delapanpuluh persen karena kemampuan mengendalikan emosi (EQ), duapuluh persen faktor (IQ). Meskipun otak organ manusia yang vital—bukan berarti otak segalanya.

Memang kemampuan otaklah membedakan manusia dan satwa. Namun demikian kemampuan harus dikomunikasikan sebagai salah satu fungsi otak. Otak yang menjadi lalulintas, apa yang didengar, dilihat, dibaca direspon—kemudian diproses menjadi retorika, yang kreatif menjadi orator. Kemampuan produktivitas otak ibarat makanan bayi, susu sebagai asupan vitamin. Produktivitas tergantung seseorang memadukan imajinasi dan kreasi.

Akselerasi

Maka, untuk berhasil perlu ada akselerasi kreatif dan imajinatif. Akselerasi keduanya akan menghasilkan insan produktif, berdedikasi dan profesional. Akselerasi tersebut menyadarkan personal, mengerti tugas yang dikerjakan adalah tanggung jawab. Maka, tak mungkin orang yang tidak propesional bekerja melebihi panggilan tugas. Artinya, berpangkat kolonel bertanggung-jawab seperti jenderal, pasti disandang orang berdedikasi. Maka, orang yang bekerja sesuai argo (bekerja sesuai dengan gaji) adalah filosofi orang yang tidak profesional. Jadi orang yang semangat antusias akan memunculkan krativitas-kreativitas baru dari imajinasi yang liar. Namun imajinasinya harus dikontrol, dirawat, diasah bak seorang bayi. Kelak ia akan raksasa tidur dalam diri kita. Maka jika kita ingin kualitas diri, arif dan bijaksana dapat berselancar dalam multi-perubahan, sederhana, menyatukan hati dan pikiran yaitu imajinasi dan kreatif. Mengasah imajinasi berarti kreatif setiap tiap hari.

PASANG SURUT NASIONALISME INDONESIA

Sejak awal perjalanan Indonesia sebagai bangsa, membangun ’nation’ sebagai proyek bersama bukanlah mudah. Meski Sukarno sukses mempersatukan wilayah yang terpecah-pecah itu, tetapi, di era 1950an, dia tergoda meningkatkan peran ”state’ sebagai alat untuk menjaga apa yang disebut ”mitos pengalaman perang,8 yang dalam konteks ini, saya kira, merujuk pada perang revolusi melawan agresi kolonial 1945-1949. Bahwa ”revolusi belum selesai” dan harus terus berlanjut dalam upaya menahan laju agresi dari "proyek neo-kolonialisme dan imperialisme." Dengan bahasa lain, upaya perayaan atas "mitos pengalaman perang revolusi kemerdekaan" itu sebetulnya adalah usaha melegitimasi mobilisasi dukungan bagi program Demokrasi Terpimpin pasca Dekrit 5 Juli 1959.

Sampai disini, sejarah nasionalisme kita terseret dalam arus Perang Dingin, dimana ”Indonesia-nya Sukarno” tampak ”kekiri-kirian” di mata Amerika Serikat. Indonesia lalu menjadi ancaman bagi hegemoni sekutu di kawasan Asia Pasifik. Atau, setidaknya menganggu ”Doktrin Truman” yang sedang menjalankan strategi ’containment’ atas pengaruh komunisme Soviet dan China di Asia. Terlebih lagi, Bung Karno merumuskan politiknya sebagai ”anti nekolim,” yang membuatnya dekat dengan blok Timur dan sejalan dengan PKI. Kita ingat slogan nasional waktu itu adalah ”Inggris kita Linggis, Amerika kita Setrika”.

Sekali lagi, "mitos pengalaman perang" pada masa sebelumnya dipakai kembali untuk mobilisasi militer, dengan mencanangkan program konfrontasi dengan Malaysia dan Pembebasan Irian Barat. Di luar kontroversi politik saat itu, harus diakui "perang melawan nekolim" itu telah memberi kontribusi bagi pembentukan nasionalisme Indonesia. Sukarelawan mengalir dari berbagai penjuru untuk berkorban bagi "proyek bersama" melawan nekolim, dan untuk sejenak melupakan perkara Demokrasi Terpimpin.

Tetapi, seperti halnya takdir nasionalisme yang memiliki ”wajah Janus," nasionalisme saat itu juga mempunyai watak ganda. Ke arah luar, nasionalisme Indonesia tampak progresif, namun menghadapi urusan politik domestik dia menjadi konservatif. Pemberontakan daerah selama dasawarsa 1950an, telah membuat ’proyek bersama’ itu semakin terpecah, antara Indonesia yang "kiri," dan kekuatan anti-Sukarno. Dia berlangsung di tengah ketidakpuasan daerah atas politik pusat, dan ekonomi nasional yang morat-marit. Tentu, dalam pendulum politik masa itu, semua kritik atas perjuangan nasional anti-nekolim, dengan sendirinya menjadi "kanan."

Kegagalan "Nasakom," dan berakhirnya rezim Sukarno dengan tragedi nasional berdarah 1965, telah memberi jalan bagi Jenderal Suharto memulai apa yang disebutnya sebagai ”Orde Baru,” dan menafsirkan nasionalisme dengan corak sentralisme birokratik yang jauh lebih ekstrim dari masa sebelumnya. Dengan legitimasi memulihkan stabilitas nasional, orde itu mempunyai dua ciri pokok yaitu, secara ekonomi membuka kran modal asing, dan secara politik menjalankan otoritarianisme yang militeristik.

Pengendalian politik sipil oleh militer, pemasungan kebebasan berorganisasi dan berekspresi, dan sentralisme pemerintahan yang luar biasa mengendalikan politik daerah telah mengkorup Indonesia sebagai "proyek bersama." Nasionalisme orde baru adalah sesuatu yang anti dialog dan anti demokrasi. Kendali politik birokratis-militeristik ini telah menempatkan ’State’ menjadi apa yang dalam istilah Hobbesian sebagai Leviathan, sesuatu yang besar dan menakutkan. Orde ini juga telah menciptakan militer sebagai kasta politik terpenting dan mengecilkan peran masyarakat sipil.

Peran dominan ’state’ pada rezim orde baru itu berdampak amat buruk pada perkembangan ’nation’ selanjutnya. Dengan sentralisme rezim otoriter militeristik itu, maka perjumpaan Negara Orde Baru dengan pergolakan daerah seperti Aceh, Timor Timur dan Papua menjadi sangat gelap, berdarah-darah, dan menyisakan trauma politik yang panjang. Jika Sukarno menggelorakan sentimen nasionalisme dengan sesatu yang ”mengangkat” martabat bangsa, dan dengan progresif mengisi karakter nasionalisme Indonesia, maka strategi integrasi nasional gaya Suharto adalah mengencangkan kendali birokrasi dan militer sebagai agen nasionalisme.

Bahkan jauh lebih buruk. Sengaja atau tidak, orde baru melakukan politik homogenisasi dengan Jawa sebagai pusat. Sekali lagi, upaya itu mengkhianati nasionalisme sebagai "proyek bersama." Ketidakpuasan atas elit politik non-Jawa di daerah-daerah mencapai puncaknya pada era kediktatoran ini. Misalnya, pada 1980 dari seluruh 12 Kodam yang ada pada waktu di luar Jawa, semua berada di tangan komandan militer dari Jawa. Dominasi etnik Jawa bahkan terlihat dari komposisi kepemimpinan tentara, 89 persen dari petinggi militer saat itu, jika bukan Jawa (80%) adalah Sunda (9%). Selain menggunakan Golkar sebagai alat politik orde baru, militer juga mendominasi parlemen yang memiliki 100 kursi di DPR (dari 460 kursi), yang dipilih tanpa pemilu tapi ditunjuk langsung oleh presiden.9

Dengan begitu, nasionalisme orde baru yang militeristik adalah sesuatu yang diabdikan untuk mengamankan teritorial, yang mengambil klaim kebenarannya lewat mistifikasi UUD 1945, dengan asumsi batas wilayah adalah "suci." Teritorialisme itu lalu meminggirkan semua urusan tentang "hak demokratis warga," dan mementingkan ’tanah’ dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bukan "manusia" atau "warga" di atasnya. Struktur teritorial itu membayangi struktur politik sipil sampai di tingkat pedesaan. Termasuk juga fungsi militer memeriksa orientasi politik dan mengendalikan organisasi sosial, seperti pers, lembaga agama dan badan pendidikan.10 Sekelompok orang yang menentang rezim dengan sendirinya dianggap ”tidak nasionalis,” atau lebih parah lagi ”komunis” atau ”separatis.” Kedua kata itu adalah juga berarti bukan bagian warga ’nation’ dalam versi rezim orde baru. Para keluarga eks-PKI, misalnya, telah dikeluarkan dari "proyek bersama," dan menempatkan mereka sebagai warga pariah tanpa hak politik.

Kegilaan tasfir nasionalisme seperti itu bahkan tidak terjadi pada orde sebelumnya. Misalkan Aceh, pergolakan Daud Beureueh dengan DI/TII di tahun 1953-1960 masih membuka kesempatan memperbincangkan kembali "proyek bersama" itu. Tetapi, ruang itu tertutup pada masa orde baru, ketika Hasan di Tiro menggugat dengan Gerakan Aceh Merdeka pada 1976, maka daerah itu pun menjadi ajang operasi militer yang masif dan represif, yang menggasak warga sipil tak berdosa dengan membabi-buta. Sama halnya dengan Timor Timur yang dalam rekaman lembaga hak asasi manusia internasional, telah kehilangan 200 ribu warga selama militer rezim orde baru "menertibkan" daerah itu pada 1970an. Tak kurang kisah yang sama tragisnya terjadi di Papua.

Maka, ketika rezim orde baru dijatuhkan gerakan pro demokrasi, kepercayaan daerah-daerah bergolak itu atas "proyek bersama" yang bernama Indonesia sudah pupus lebih awal sebagai reaksi atas politik kekerasan orde baru. Lepasnya Timor Timur, yang kini menjadi Timor Leste mungkin satu perkecualian, karena aneksasi yang dilakukan rezim orde baru ke wilayah itu adalah satu kecelakaan sejarah dari skenario Perang Dingin. Tetapi, gejolak di Aceh dan Papua, adalah ujian berat pada masa reformasi.

Jumat, 16 Mei 2008

TRISAKTI YANG TERABAIKAN



  
SERATUS TAHUN KEBANGKITAN NASIONAL
Kondisi bangsa Indonesia yang tak kunjung mengalami perbaikan di segala bidang sudah berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Semuanya tidak lepas dari memudarnya rasa nasionalisme sebagai kekuatan terbesar yang bersumber pada ajaran Bung Karno, the Faunding Father negara ini. Tri Sakti yang menjadi tujuan pokok ajaran Bung Karno yang ingin mewujudkan kemakmuran, justru diabaikan. Oleh karena itu, menanamkan kembali ajaran Bung Karno sebagai sebuah ideologi dan paltform perjuangan merupakan jalan terbaik untuk memperbaiki kondisi bangsa Indonesia. ----------"

AJARAN Bung Karno hingga kini belum diimplementasikan secara nyata. Bahkan, selama hampir 32 tahun era orde baru, ajaran-ajaran Bung Karno terus saja mengalami proses desoekarnoisasi. Tidak heran kalau kemudian banyak generasi muda yang ada saat ini kehilangan rasa nasionalisme, rasa cinta dan bangga sebagai bangsa dan warga negara Indonesia.

Tujuan utama yang ingin dicapai dari ajaran Bung Karno yakni Tri Sakti malah diabaikan elite politik saat ini. Tri Sakti yang mengamanatkan perwujudan masyarakat Indonesia yang ''Berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam bidang budaya'', nyaris tidak pernah tercapai.

Utang Indonesia yang mencapi 200 milyar dolar AS menunjukkan betapa Indonesia secara ekonomi begitu tergantung kepada pihak luar. Kondisi ini tentu tidak menguntungkan. Sebab, bangsa Indensia tidak lebih menjadi alat pihak luar. Akhirnya karena ketergantungan yang demikian besar ini, bangsa Indonesia pun malah dicekam rasa ketakutan yang sengaja disebar pihak luar, bahkan sedang diadu domba
Kini, semakin marak pendapat perlunya Indonesia melepaskan ketergantungan pada pihak asing dan menjadi bangsa yang mandiri. Pendapat senada juga dikemukakan oleh MUI ketika diterima presiden Megawati Soekarnoputri awal pekan ini. Baik Presiden maupun MUI rupanya punya pandangan sama bagaimana Indonesia nantinya menjadi bangsa mandiri dan berdikari (berdiri diatas kaki sendiri).

Politik berdikari menjadi populer setelah Bung Karno memberi judul pidatonya 17 Agustus 1965: ‘Tahun Berdikari’. Sekalipun prinsip politik berdikari sering dikemukakannya pada tahun-tahun sebelumnya. Dalam pidato 17 Agustus 1964 misalnya, Bung Karno mengemukakan prinsip Trisakti Tavip (Tahun Vivere Pericoloso). Di sini ia menjelaskan tiga prinsip berdikari. Yakni, berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Ketiga-tiganya prinsip berdikari ini, kata Bung Karno, tidak dapat dipisahkan dan dipreteli satu sama lain. Menurutnya, tidak mungkin akan ada kedaulatan dalam politik dan berkepribadian dalam kebudayaan, bila tidak berdirikari dalam ekonomi. Demikian pula sebaiknya.

Dengan berdaulat dalam bidang politik, Bung Karno menginginkan agar bangsa Indonesia benar-benar berdaulat dan tidak bisa didikte oleh siapapun. Di samping itu ia sering menegaskan bahwa bangsa Indonesia tidak akan menjadi bangsa mengemis, lebih-lebih kepada kaum imperalis.

Berdikari dalam ekonomi berarti kita harus bersandar pada dana dan tenaga yang memang sudah ada di tangan kita dan menggunakannya semaksimal-maksimalnya. Tidak boleh lagi terjadi ‘ayam mati dilumbung’, karena tanah air kita kaya raya. Menjelaskan berkepribadian dalam kebudayaan, Bung Karno menegaskan bahwa budaya kita kaya raya yang harus kita gali. Karenanya, ia menganggap tepat sekali diboikotnya film-film Inggris dan AS ketika itu. Juga tepat pemberantasan ‘musik’ The Beattle, literatur picisan, dansa-dansi gila-gilaan. Apa yang dikuatirkan Bung Karno itu kini menjadi kenyataan dengan makin merajalelanya dekadensi moral para muda-mudi.

Melalui Dekon (Deklarasi Ekonomi), sebagai perencanaan pembangunan ekonomi berdiri, Bung Karno meletakkan kedudukan rakyat sebagai sumber daya sosial bagi pembangunan. Ia yakin bahwa rakyat akan menjadi sumber daya ekonomi yang optimal bagi pembangunan bila aktivitas dan kreatifitasnya dikembangkan. Ia tanpa tedeng aling-aling mengecam keras cara-cara text-book thinking. Mengambil begitu saja pemikiran-pemikiran para ahli ekonomi Barat, tanpa memperhatikan kondisi di Indonesia.

Dalam kaitan kerjasama ekonomi dengan negara-negara imperialis, ucapan Bung Karno yang sangat terkenal adalah : “Go to hell with your aid” seringkali ditafsirkan sebagai sikapnya yang usang terhadap bantuan asing, modal asing, bahkan segala yang berbau asing.

Sebenarnya, tidaklah tepat kalau Bung Karno anti bantuan dan modal asing. Karena ketika membangun kompleks stadion utama Senayan dari bantuan Uni Soviet. Sedangkan jembatan Semangi dari Amerika. Tapi, ketika AS mau membantu dengan mengharuskan Indonesia mengikuti politiknya, yang merupakan ikatan, Bung Karno tegas-tegas menolak. Dekon sendiri, yang waktu itu merupakan Manipolnya bidang ekonomi menyatakan, bilamana dengan kekuatan fund and forces nasional tidak mencukupi, maka harus dicarikan kredit luar negeri yang tidak bertentangan dengan politik kita. dalam kaitan politik berdikari ini, sampai-sampai Bung Karno mengkaitkannya dengan kehadiran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Mahkota kemerdekaan suatu bangsa adalah bukan keanggotaan PBB, tetapi berdikari. Bahkan, Bung Karno sejak tahun 1960 nyata-nyata menuduh organisasi dunia ini hanya menguntungkan imperialisme dan merugikan negara-negara berkembang. Pada 1 Januari 1965 Indonesia keluar dari PBB.

Tidak hanya keluar dari PBB, Bung Karno bahkan ingin mengadakan Conefo (Conference of the New Emerging Forces) sebagai tandingan PBB. Untuk itu, ia sudah menyiapkan gedungnya, yang sekarang ini menjadi gedung MPR/DPR. Tapi, tekadnya ini tidak berhasil karena ia jatuh. Kita tidak tahu apa jadinya bila Conefo menjadi kenyataan.

Sedangkan tudingannya terhadap PBB itu kini menjadi kenyataan. Banyak negara, termasuk PM Mahathir Muhammad mengeluhkan karena PBB telah menjadi alat imperialisme Amerika Serikat.

Seperti embargo ekonomi terhadap Irak, sekalipun jutaan bayi menderita dan meninggal dunia, lumpuhnya ekonomi rakyat Irak, dan berbagai penderitaan lainnya, PBB tidak punya kepedulian sedikit pun. Bahkan, ketika Amerika Serikat mengadakan invasi ke Afganistan dengan alasan memerangi terorisme, PBB mendukungnya. Tidak peduli jatuhOrator Ulung
Presiden pertama RI itu pun dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat berpidato secara amat berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialis-me dan imperialisme. Ia juga amat percaya pada kekuatan massa, kekuatan rakyat. “Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah rakyat,” kata Bung Karno, dalam karyanya ‘Menggali Api Pancasila’. Suatu ungkapan yang cukup jujur dari seorang orator besar.

Gejala berbahasa Bung Karno merupakan fenomena langka yang mengundang kagum banyak orang. Kemahirannya menggunakan bahasa dengan segala macam gayanya berhubungan dengan kepribadiannya. Hal ini tercermin dalam autobiografi, karangan-karangan dan buku-buku sejarah yang memuat sepak terjangnya.

Ia adalah seorang cendekiawan yang meninggalkan ratusan karya tulis dan beberapa naskah dra-ma yang mungkin hanya pernah dipentaskan di Ende, Flores. Kumpulan tulisannya sudah diterbit-kan dengan judul “Diba-wah Bendera Revolusi”, dua jilid. Jilid pertama boleh dikatakan paling menarik dan paling penting karena mewakili diri Soekarno sebagai Soekarno.

Dari buku setebal kira-kira 630 halaman tersebut tulisan pertama yang bermula dari tahun 1926, dengan judul “Nasionalis-me, Islamisme, dan Marxisme” adalah paling menarik dan mungkin paling penting sebagai titik-tolak dalam upaya memahami Soekarno dalam gelora masa mudanya, seorang pemuda berumur 26 tahun.

Di tengah kebesarannya, sang orator ulung dan penulis piawai, ini selalu membutuhkan dukungan orang lain. Ia tak tahan kesepian dan tak suka tempat tertutup.

Di akhir masa kekuasaannya, ia sering merasa kesepian. Dalam autobiografinya yang disusun oleh Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat itu, bercerita. “Aku tak tidur selama enam tahun. Aku tak dapat tidur barang sekejap. Kadang-kadang, di larut malam, aku menelepon seseorang yang dekat denganku seperti misalnya Subandrio, Wakil Perdana Menteri Satu dan kataku, ‘Bandrio datanglah ke tempat saya, temani saya, ceritakan padaku sesuatu yang ganjil, ceritakanlah suatu lelucon, berceritalah tentang apa saja asal jangan mengenai politik. Dan kalau saya tertidur, maafkanlah.... Untuk pertama kali dalam hidupku aku mulai makan obat tidur. Aku lelah. Terlalu lelah.”

Dalam bagian lain disebutkan, “Ditinjau secara keseluruhan maka jabatan presiden tak ubahnya seperti suatu pengasingan yang terpencil... Seringkali pikiran oranglah yang berubah-ubah, bukan pikiranmu... Mereka turut menciptakan pulau kesepian ini di sekelilingmu.”

Anti Imperialisme
Pada 17 Mei 1956. Bung Karno mendapat kehormatan menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika Serikat. Sebagaimana dilaporkan New York Times (halaman pertama) pada hari berikutnya, dalam pidato itu dengan gigih ia menyerang kolonialisme.“Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan demi pembebasan rakyat kami dari belenggu kolonialisme, telah berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad. Tetapi, perjuangan itu masih belum selesai. Bagaimana perjuangan itu bisa dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun Afrika masih berada di bawah dominasi kolonial, masih belum bisa menikmati kemerdekaan?” pekik Soekarno ketika itu.

Hebatnya, meskipun pidato itu dengan keras menentang kolonialisme dan imperialisme, serta cukup kritis terhadap negara-negara Barat, ia mendapat sambutan luar biasa di Amerika Serikat (AS). Pidato itu menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap Bung Karno yang sejak masa mudanya antikolonialisme. Terutama pada periode 1926-1933, semangat antikolonialisme dan anti-imperialisme itu sudah jelas dikedepankannya.

Sangat jelas dan tegas ingatan kolektif dari pahitnya kolonialisme yang dilakukan negara asing yang kaya itu. Namun, kata dan fakta adalah dua hal yang berbeda, dan tak jarang saling bertolak belakang.

Soekarno dan para penggagas nasionalisme lainnya dipaksa bergulat di antara “kata” dan “fakta” politik yang dicoba dirajut namun ternyata tidak mudah, dan tak jarang menemui jalan buntu.

Soekarno yang rajin berkata-kata, antara lain mengenai gagasan besarnya menyatukan kaum nasionalis, agama dan komunis (1926) menemukan kenyataan yang sama sekali bertolak belakang, ketika ia mencobanya menjadi fakta. Begitu pula gagasan besarnya yang lain: marhaenisme, atau nasionalisme marhaenistis, yang matang dikonsepsikan pada tahun 1932. Bahkan, gagasannya mengenai Pancasila.

Tokoh Kontroversial
Sebagai sosok yang memiliki prinsip tegas, Bung Karno kerap dianggap sebagai tokoh kontroversial. Maka tak heran jika dia memiliki lawan maupun kawan yang berani secara terang-terangan mengritik maupun membela pandangannya. Di mata lawan-lawan politiknya di Tanah Air, ia dianggap mewakili sosok politisi kaum abangan yang “kurang islami”. Mereka bahkan menggolongkannya sebagai gembong kelompok “nasionalis sekuler”.

Akan tetapi, di mata Syeikh Mahmud Syaltut dari Cairo, penggali Pancasila itu adalah Qaida adzima min quwada harkat al-harir fii al-balad al-Islam (Pemimpin besar dari gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam). Malahan, Demokrasi Terpimpin, yang di dalam negeri diperdebatkan, justru dipuji oleh syeikh al-Azhar itu sebagai, “lam yakun ila shuratu min shara asy syuraa’ allatiy ja’alha al-Qur’an sya’ana min syu’un al-mu’minin” (tidak lain hanyalah salah satu gambaran dari permusyawaratan yang dijadikan oleh Al Quran sebagai dasar bagi kaum beriman).

Tatkala memuncak ketegangan antara Israel dan negara-negara Arab soal status Palestina ketika itu, pers sensasional Arab menyambut Bung Karno, “Juara untuk kepentingan-kepentingan Arab telah tiba”. Begitu pula, Tahta Suci Vatikan memberikan tiga gelar penghargaan kepada presiden dari Republik yang mayoritas Muslim itu.

Memang, pembelaan Bung Karno terhadap kaum tertindas tidak hanya untuk negerinya namun juga negeri lain. Itulah sebabnya, mengapa ia dipuja habis oleh bangsa Arab yang tengah menghadapi serangan Israel kala itu. Bung Karno dianggap sebagai pemimpin kaum Muslim. Padahal, di dalam negeri sendiri ia kerap dipandang lebih sebagai kaum abangan daripada kaum santri.

Sebenarnya, seberapa religiuskah Bung Karno? Bukankah ia juga dalam konsepsi Pancasila merumuskan sila Ketuhanan Yang Maha Esa? Sila yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan mengakui lima agama. Bagaimana mungkin merangkum visi lima agama itu dalam satu kalimat yang mendasar itu kalau si pembuat kalimat tidak memahami konteks kehidupan beragama di Indonesia secara benar?

Dalam hal ini elok dikutip pendapat Clifford Geertz Islam Observed (1982): “Gaya religius Soekarno adalah gaya Soekarno sendiri.” Betapa tidak? Kepada Louise Fischer, Bung Karno pernah mengaku bahwa ia sekaligus Muslim, Kristen, dan Hindu. Di mata pengamat seperti Geertz, pengakuan semacam itu dianggap sebagai “bergaya ekspansif seolah-olah hendak merangkul seluruh dunia”. Sebaliknya, ungkapan semacam itu-pada hemat BJ Boland dalam The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1982)- “hanya merupakan perwujudan dari perasaan keagamaan sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya Jawa”. Bagi penghayatan spiritual Timur, ucapan itu justru “merupakan keberanian untuk menyuarakan berbagai pemikiran yang mungkin bisa dituduh para agamawan formalis sebagai bidah”.

Sistem Politik
Soekarno memiliki pandangan mengenai sistem politik yang didukungnya adalah yang paling “cocok” dengan “kepribadian” dan “budaya” khas bangsa Indonesia yang konon mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan keselarasan. Dalam retorika, ia mengecam “individualisme” yang katanya lahir dari liberalisme Barat. Individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini terutama dicerminkan oleh pertarungan antarpartai.

Lalu ia mencetuskan Demokrasi Terpimpin. Dalam berpolitik Soekarno mementingkan politik mobilisasi massa, ia bersimpati pada gerakan-gerakan anti-imperialisme, dan mungkin sebagai salah satu konsekuensinya, penerimaannya pada Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor politik yang sah, pendukung konsepsi demokrasi terpimpin. Jadi ia mencanangkan sistem politik yang berwatak anti-liberal dan curiga pada pluralisme politik. Ia mementingkan “persatuan” demi “revolusi”.

Pada tahun 1950-an, Indonesia memang ditandai oleh ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh sistem demokrasi parlementer. Sistem ini bersifat sangat liberal, dan didominasi oleh partai-partai politik yang menguasai parlemen. Pemilu 1955-yang dimenangkan empat kekuatan besar, Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) serta PKI- hingga kini masih dianggap sebagai pemilu paling bebas dan bersih yang pernah dilaksanakan sepanjang sejarah Indonesia. Namun, di sisi lain dari sistem parlemen yang dikuasai partai itu adalah sering jatuh bangunnya kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri. Selain itu, sejarah juga mencatat bahwa integritas nasional terus-menerus diancam oleh berbagai gerakan separatis, yakni DI/TI, PRRI/Permesta, dan sebagainya.

Kenyataan ini membuat Soekarno makin curiga pada partai politik karena dia menganggap Masyumi, dan juga PSI, terlibat dalam beberapa pemberontakan daerah.
Kemudian, Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena kegagalan Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat perdebatan berlarut-larut, terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan kekuatan Islam mengenai dasar negara.nya banyak korban sipil yang tidak berdosa...... "