Sabtu, 31 Mei 2008

IMAGINATIF MEMBANGUN KREATIFITAS

Ada pertanyaan, mengapa orang kreatif biasanya imajinatif..? Jawabannya, orang kreatif pasti memamfaatkan imajinasinya. Arti kreatif adalah memadukan sebuah perjalanan impian dengan nyata. Misalnya, seorang yang berimajinasi sebagai seorang intertaint, ia harus mensosiasikan diri menghibur penonton diatas pentas, bak konser seorang diva. Namun, tidak berhenti disitu ia harus mau terus tekun berlatih untuk mengujudkan menjadi penghibur sejati, tapi tak guna jika hanya menghayal tanpa ada reaksi. Yang kreatif, tekun belajar, melatih diri imajinasi, berlahan tetapi pasti hasratnya menjadi kenyataan.

David Thornburg, seorang pengamat kreativitas menyarakan berpikir saat-saat bahagia dalam hidup membantu membangunkan kreativitas. Contohnya, membanyangkan apa yang ingin dicapai, entah memulai menulis buku, menyiapkan pidato. Penting persiapan yang matang sampai satu saat tiba pada pokok. Jika momen-nya tiba, ibarat seorang pemain bola menendang terarah. Maka melalui latihan panjang seseorang menjadi maestro. Norman Vince Peale; menurutnya, visualisasi dalam hubungan antarpribadi tentang kreatif. Yang penting menurutnya kreatif harus dilakukan tiap-tiap hari.

Perpaduan kreatif dan imajinasi kelak mengakumulasi merubah paradigma tidak mungkin menjadi mungkin. Jadi, kreatif itu tidak jauh dari kehidupan berlatih. Dengan terbiasa berlatih, akan menghasilkan kepribadian dan memperbesar kesempatan untuk mengapai sukses dalam usaha. Untuk mengasah keduanya seseorang harus menggerakkan kebiasaan menjadi budaya. Salah satu adalah meluangkan waktu limabelas menit per hari relaksasi (meditasi), mengasah mediasi imajinasi dan kreasi. Sebab, kemampuan kreasi dan imajinasi selalu beriringan mengkristal menjadi hasil. Itu sebabnya Albert Einstein menyebut imajinasi lebih penting daripada penemuan sains, sebab, imajinasi adalah kekuataan.

Bill Gates miliarder dunia menyebut, imajinasi dan kreatrif lebih penting ketimbang teknologi. Sebagai pengagas piranti lunak, ia melihat dampak imajinasi dan kreativitas menghasilkan produk bermutu. Produk berkualitas lahir dari tangan-tangan imajinatif, ispiratif dan kreatif. Motor merek Honda pasti lebih bermutu dari motor brand Beijing. Walaupun sama-sama dibuat orang Asia, latar belakang kreasi dan imajinasinya berbeda.

Amerika hebat karena sistim memberikan kebebasan pada setiap orang mengembangkan imajinasi dan kreatif, sehingga kreativitas itu mengerakkan power yang akhirnya membangun orang-orang yang berimajinasi. Contohnya orang kreativitas disokong imajinasi, Bill Gates mengagas; satu komputer bagi setiap rumah. Mendorongnya menghasilkan Microsoft. Akhirnya, Bill Gates menjadi salah satu manusia yang membuat sejarah, paling tidak nomor dua di Inggris berpengaruh setelah sistim hirakri kerajaan. Itu terjadi dari imajinasi menjadi kreator (menciptakan produk).

Proses kreatif tidak hanya berhenti pada daya imajiner. Dibutuhkan kekuatan untuk merancang aspek-aspek-lain pada kehidupan nyata. Misalnya, bila seorang pelukis menemukan imainasi, lalu dimulai menuangkan garis di kanvas, dan warna dalam satu grand design, lukisannya menjadi pemandangan yang indah meneduhkan jiwa. Demikian pula seorang sastrawan, memilih tema, plot, karakter tulisan lalu lihai mengocok kata-kata--hingga orang dibuat emosi, menangis atau terkekeh-kekeh membaca karyanya.

Otak dan Imajinasi

Perspektif kebanyakan menilai otak menjadi sumbu semua kreasi. Namun imajinasi (jiwa) masih tetap berlaku dan berguna. Kemampuan otak hubungannya kreativitas. Otak manusia mampu menampung tigapuluh milliar bit informasi per detik. Otak juga bisa jutaan kali lebih jitu mengirim sinyal daripada kemampuan komputer. Albert Estaein misalnya hanya mengunakan pikirannya satu persen, sembilanpuluh sembilan persen lagi adalah kerja keras. Hal yang sama dikatakan Motivator ulung Tung Dasem Waringin pelatih nomor satu Indonesia persi majalah Marketing; kesuksesan tergantung delapanpuluh persen karena kemampuan mengendalikan emosi (EQ), duapuluh persen faktor (IQ). Meskipun otak organ manusia yang vital—bukan berarti otak segalanya.

Memang kemampuan otaklah membedakan manusia dan satwa. Namun demikian kemampuan harus dikomunikasikan sebagai salah satu fungsi otak. Otak yang menjadi lalulintas, apa yang didengar, dilihat, dibaca direspon—kemudian diproses menjadi retorika, yang kreatif menjadi orator. Kemampuan produktivitas otak ibarat makanan bayi, susu sebagai asupan vitamin. Produktivitas tergantung seseorang memadukan imajinasi dan kreasi.

Akselerasi

Maka, untuk berhasil perlu ada akselerasi kreatif dan imajinatif. Akselerasi keduanya akan menghasilkan insan produktif, berdedikasi dan profesional. Akselerasi tersebut menyadarkan personal, mengerti tugas yang dikerjakan adalah tanggung jawab. Maka, tak mungkin orang yang tidak propesional bekerja melebihi panggilan tugas. Artinya, berpangkat kolonel bertanggung-jawab seperti jenderal, pasti disandang orang berdedikasi. Maka, orang yang bekerja sesuai argo (bekerja sesuai dengan gaji) adalah filosofi orang yang tidak profesional. Jadi orang yang semangat antusias akan memunculkan krativitas-kreativitas baru dari imajinasi yang liar. Namun imajinasinya harus dikontrol, dirawat, diasah bak seorang bayi. Kelak ia akan raksasa tidur dalam diri kita. Maka jika kita ingin kualitas diri, arif dan bijaksana dapat berselancar dalam multi-perubahan, sederhana, menyatukan hati dan pikiran yaitu imajinasi dan kreatif. Mengasah imajinasi berarti kreatif setiap tiap hari.

PASANG SURUT NASIONALISME INDONESIA

Sejak awal perjalanan Indonesia sebagai bangsa, membangun ’nation’ sebagai proyek bersama bukanlah mudah. Meski Sukarno sukses mempersatukan wilayah yang terpecah-pecah itu, tetapi, di era 1950an, dia tergoda meningkatkan peran ”state’ sebagai alat untuk menjaga apa yang disebut ”mitos pengalaman perang,8 yang dalam konteks ini, saya kira, merujuk pada perang revolusi melawan agresi kolonial 1945-1949. Bahwa ”revolusi belum selesai” dan harus terus berlanjut dalam upaya menahan laju agresi dari "proyek neo-kolonialisme dan imperialisme." Dengan bahasa lain, upaya perayaan atas "mitos pengalaman perang revolusi kemerdekaan" itu sebetulnya adalah usaha melegitimasi mobilisasi dukungan bagi program Demokrasi Terpimpin pasca Dekrit 5 Juli 1959.

Sampai disini, sejarah nasionalisme kita terseret dalam arus Perang Dingin, dimana ”Indonesia-nya Sukarno” tampak ”kekiri-kirian” di mata Amerika Serikat. Indonesia lalu menjadi ancaman bagi hegemoni sekutu di kawasan Asia Pasifik. Atau, setidaknya menganggu ”Doktrin Truman” yang sedang menjalankan strategi ’containment’ atas pengaruh komunisme Soviet dan China di Asia. Terlebih lagi, Bung Karno merumuskan politiknya sebagai ”anti nekolim,” yang membuatnya dekat dengan blok Timur dan sejalan dengan PKI. Kita ingat slogan nasional waktu itu adalah ”Inggris kita Linggis, Amerika kita Setrika”.

Sekali lagi, "mitos pengalaman perang" pada masa sebelumnya dipakai kembali untuk mobilisasi militer, dengan mencanangkan program konfrontasi dengan Malaysia dan Pembebasan Irian Barat. Di luar kontroversi politik saat itu, harus diakui "perang melawan nekolim" itu telah memberi kontribusi bagi pembentukan nasionalisme Indonesia. Sukarelawan mengalir dari berbagai penjuru untuk berkorban bagi "proyek bersama" melawan nekolim, dan untuk sejenak melupakan perkara Demokrasi Terpimpin.

Tetapi, seperti halnya takdir nasionalisme yang memiliki ”wajah Janus," nasionalisme saat itu juga mempunyai watak ganda. Ke arah luar, nasionalisme Indonesia tampak progresif, namun menghadapi urusan politik domestik dia menjadi konservatif. Pemberontakan daerah selama dasawarsa 1950an, telah membuat ’proyek bersama’ itu semakin terpecah, antara Indonesia yang "kiri," dan kekuatan anti-Sukarno. Dia berlangsung di tengah ketidakpuasan daerah atas politik pusat, dan ekonomi nasional yang morat-marit. Tentu, dalam pendulum politik masa itu, semua kritik atas perjuangan nasional anti-nekolim, dengan sendirinya menjadi "kanan."

Kegagalan "Nasakom," dan berakhirnya rezim Sukarno dengan tragedi nasional berdarah 1965, telah memberi jalan bagi Jenderal Suharto memulai apa yang disebutnya sebagai ”Orde Baru,” dan menafsirkan nasionalisme dengan corak sentralisme birokratik yang jauh lebih ekstrim dari masa sebelumnya. Dengan legitimasi memulihkan stabilitas nasional, orde itu mempunyai dua ciri pokok yaitu, secara ekonomi membuka kran modal asing, dan secara politik menjalankan otoritarianisme yang militeristik.

Pengendalian politik sipil oleh militer, pemasungan kebebasan berorganisasi dan berekspresi, dan sentralisme pemerintahan yang luar biasa mengendalikan politik daerah telah mengkorup Indonesia sebagai "proyek bersama." Nasionalisme orde baru adalah sesuatu yang anti dialog dan anti demokrasi. Kendali politik birokratis-militeristik ini telah menempatkan ’State’ menjadi apa yang dalam istilah Hobbesian sebagai Leviathan, sesuatu yang besar dan menakutkan. Orde ini juga telah menciptakan militer sebagai kasta politik terpenting dan mengecilkan peran masyarakat sipil.

Peran dominan ’state’ pada rezim orde baru itu berdampak amat buruk pada perkembangan ’nation’ selanjutnya. Dengan sentralisme rezim otoriter militeristik itu, maka perjumpaan Negara Orde Baru dengan pergolakan daerah seperti Aceh, Timor Timur dan Papua menjadi sangat gelap, berdarah-darah, dan menyisakan trauma politik yang panjang. Jika Sukarno menggelorakan sentimen nasionalisme dengan sesatu yang ”mengangkat” martabat bangsa, dan dengan progresif mengisi karakter nasionalisme Indonesia, maka strategi integrasi nasional gaya Suharto adalah mengencangkan kendali birokrasi dan militer sebagai agen nasionalisme.

Bahkan jauh lebih buruk. Sengaja atau tidak, orde baru melakukan politik homogenisasi dengan Jawa sebagai pusat. Sekali lagi, upaya itu mengkhianati nasionalisme sebagai "proyek bersama." Ketidakpuasan atas elit politik non-Jawa di daerah-daerah mencapai puncaknya pada era kediktatoran ini. Misalnya, pada 1980 dari seluruh 12 Kodam yang ada pada waktu di luar Jawa, semua berada di tangan komandan militer dari Jawa. Dominasi etnik Jawa bahkan terlihat dari komposisi kepemimpinan tentara, 89 persen dari petinggi militer saat itu, jika bukan Jawa (80%) adalah Sunda (9%). Selain menggunakan Golkar sebagai alat politik orde baru, militer juga mendominasi parlemen yang memiliki 100 kursi di DPR (dari 460 kursi), yang dipilih tanpa pemilu tapi ditunjuk langsung oleh presiden.9

Dengan begitu, nasionalisme orde baru yang militeristik adalah sesuatu yang diabdikan untuk mengamankan teritorial, yang mengambil klaim kebenarannya lewat mistifikasi UUD 1945, dengan asumsi batas wilayah adalah "suci." Teritorialisme itu lalu meminggirkan semua urusan tentang "hak demokratis warga," dan mementingkan ’tanah’ dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bukan "manusia" atau "warga" di atasnya. Struktur teritorial itu membayangi struktur politik sipil sampai di tingkat pedesaan. Termasuk juga fungsi militer memeriksa orientasi politik dan mengendalikan organisasi sosial, seperti pers, lembaga agama dan badan pendidikan.10 Sekelompok orang yang menentang rezim dengan sendirinya dianggap ”tidak nasionalis,” atau lebih parah lagi ”komunis” atau ”separatis.” Kedua kata itu adalah juga berarti bukan bagian warga ’nation’ dalam versi rezim orde baru. Para keluarga eks-PKI, misalnya, telah dikeluarkan dari "proyek bersama," dan menempatkan mereka sebagai warga pariah tanpa hak politik.

Kegilaan tasfir nasionalisme seperti itu bahkan tidak terjadi pada orde sebelumnya. Misalkan Aceh, pergolakan Daud Beureueh dengan DI/TII di tahun 1953-1960 masih membuka kesempatan memperbincangkan kembali "proyek bersama" itu. Tetapi, ruang itu tertutup pada masa orde baru, ketika Hasan di Tiro menggugat dengan Gerakan Aceh Merdeka pada 1976, maka daerah itu pun menjadi ajang operasi militer yang masif dan represif, yang menggasak warga sipil tak berdosa dengan membabi-buta. Sama halnya dengan Timor Timur yang dalam rekaman lembaga hak asasi manusia internasional, telah kehilangan 200 ribu warga selama militer rezim orde baru "menertibkan" daerah itu pada 1970an. Tak kurang kisah yang sama tragisnya terjadi di Papua.

Maka, ketika rezim orde baru dijatuhkan gerakan pro demokrasi, kepercayaan daerah-daerah bergolak itu atas "proyek bersama" yang bernama Indonesia sudah pupus lebih awal sebagai reaksi atas politik kekerasan orde baru. Lepasnya Timor Timur, yang kini menjadi Timor Leste mungkin satu perkecualian, karena aneksasi yang dilakukan rezim orde baru ke wilayah itu adalah satu kecelakaan sejarah dari skenario Perang Dingin. Tetapi, gejolak di Aceh dan Papua, adalah ujian berat pada masa reformasi.