Pencarian Tuhan Lewat Akal
Oleh: Sukasah Syahdan
Semua manusia itu atheis.
Tepatnya, kita semua pernah jadi atheis. Paling tidak, pada dan untuk suatu saat, yaitu di masa-masa pranatal, bayi atau kanak. Ketika peranti dan daya nalar belum sepenuhnya berkembang, jangankan memikirkan keberadaanNya; memikirkan keberadaan sesuatu yang agak hangat di balik popok yang tiba-tiba lembab saja kita tidak kuasa.
Saat sistem tersebut mematang, barulah sedikit demi sedikit kita bisa mempertanyakan hal-hal mendasar tentang diri kita, tentang alam raya dan seisinya, tentang penciptaannya sekaligus tentang Sang Pencipta.dan pertanyaan ultimatnya adalah: (Ti)adakah Tuhan itu? Bisakah kita membuktikannya dengan akal?
Pertanyaan semacam ini sepertinya sudah dikekalkan sebagai pertanyaan; dia telah, sedang, dan akan terus dipertanyakan umat manusia di sepanjang jaman dan peradaban. Sudah sepantasnya Jurnal ini berkepentingan dengan isu yang satu ini, sebab namanya juga Akal dan Kehendak. Artikel ini saya tulis untuk mengawali pembahasan selanjutnya, kapan-kapan. Tujuan saat ini: memastikan posisi akal dengan setepat-tepatnya, terkait satu persoalan terpenting dalam hidup. Apakah pertanyaan-pertanyaan di atas akan tetap kekal tulisan ini selesai dibaca? Kita akan menjawabnya.
Salah satu argumen logis seputar keberadaan Tuhan menyatakan bahwa semua yang ada di alam pasti muncul lewat proses penciptaan. Proses ini dianggap telah terjadi dengan sendirinya, atau sebagai akibat dari rancangan yang disengaja.
Mereka yang percaya pada proses penciptaan mengatakan, semuanya berakhir pada konsep prima causa–atau konsep tentang keberadaan Sang Maha Pencipta dari segala pencipta dan segala penciptaan di seluruh alam raya. Orang yang dapat menerima konsep ini berpeluang besar untuk menerima keberadaan Tuhan. Sementara bagi yang tidak menerima, mereka harus terus mencari landasan keyakinan.
Selain itu, ada pula argumentasi yang menyatakan: Tuhan menciptakan alam semesta beserta segala isi dan isunya. Apa artinya ini? Artinya Ia tidak termasuk di/ke dalam alam semesta. Sebelum penciptaan dilakukan, Ia mestinya berada di luar alam raya. Lalu di manakah Ia pada saat itu? Dan di manakah Ia berada sekarang?
Kalau Tuhan dikatakan telah menciptakan semesta dari ketiadaan yang absolut, bukankah Tuhan termasuk dalam ketiadaan tersebut, sehingga ketiadaan tersebut tidak bermakna sebagaimana seharusnya? Jika orang menerima premis-premis minor tersebut, besar kemungkinan ia akan tiba pada premis akhir yang menolak keberadaan Tuhan. Namun, jika ia menolak premis-premis tersebut, tidak ada jalan lain, kecuali bahwa ia harus menunda kesimpulannya untuk sementara sambil mencari premis-premis logis lain yang harus tidak disangkalnya di muka.
Pertanyaannya: apakah theisme dan atheisme kita perlu dipergantungkan pada premis logis? Dalam hemat saya, ya. Karena ini tuntutan akal–berkah yang amat berharga dariNya (bagi yang percaya, tentunya). Asal mula penciptaan akal kita seharusnya, tanpa kontradiksi, berasal dari kekuatan yang menciptakan alam raya.
Mereka yang 1/2 percaya dan separuh tidak percaya mungkin akan bertanya: kalau Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, mengapa Ia yang juga Maha Mengetahui segala plot kejahatan, kebejatan dan kesengsaraan yang telah sedang dan akan dialami manusia, tidak melakukan apa-apa? Bagaimana menyikapi proposisi-proposisi logis yang provokatif semacam ini? Di mana tempat doa dalam konstruksi kejadian peristiwa-peristiwa?
Satu hal yang ingin saya tawarkan lewat tulisan ini adalah memahami dengan lebih baik karakteristik dan batas-batas kemampuan akal manusia. Dengan memahami sampai seberapa jauh akal kita dapat mencerna persoalan teologis ini, kita setidak-tidaknya dapat menghemat sumber daya.
Taruhlah pada titik ini, kita terima dulu tanpa analisis lebih jauh, bahwa akal manusia tidak dapat menjawab tuntas Rahasia Besar dalam hidup. Tapi tentunya kita punya rasa, punya kemampuan, punya pengalaman, dan punya peluang besar untuk mengetahui secara relatif lebih meyakinkan tentang batas-batas akal kita sendiri.
Sebab, kenapa tidak? Bukankah akal sesuatu yang ada pada kita? Jawaban terhadap batas-batasnya seharusnya tidak sesulit mempertahankan karya skripsi; dia seharusnya sesuatu yang amat intuitif. Jadi, mari kita bahas batas-batas akal. Sebelumnya, kita perlu membuat batasan atau definisinya.
Apakah akal itu? Akal di sini saya definisikan sebagai kemampuan (faculty) kita untuk mencerna, mengenali, mengidentifikasi, serta memadukan semua materi (‘informasi’) yang kita peroleh melalui panca indra. Ini definisi obyektivis yang saya kira cukup aman dan dapat kita terima.
Akal mengintegrasikan persepsi kita dengan jalan membentuk abstraksi atau konsepsi, sehingga kita bisa meningkatkan pengetahuan dan pemahaman kita dari tingkat yang tadinya semata perseptual (sebagaimana halnya yang dialami hewan), ke tingkat konseptual, yang hanya dapat dicapai oleh otak manusia. Metode yang dipakai akal kita dalam proses ini adalah logika. Logika adalah semacam seni mengidentifikasi sesuatu dengan cara yang tidak kontradiktif.
Terkait pemanfaatan akal dalam pencarian kebenaran dan pengetahuan, baik yang teologis maupun yang ilmiah, berikut ikhtisar singkat saya dari sudut pandang praksiologis (kajian tentang tindakan manusia):Jika kita merunut semua kejadian di alam raya, maka upaya ini akan membawa kita kepada proses regresi ad infinitum hingga ke titik awal terciptanya waktu. sejauh akal dipergunakan, konsep kita tentang waktu tidak final. Kita tidak mampu menangkap awal ataupun akhir dari waktu itu sendiri. Dalam konteks ini, boleh dikatakan bahwa cara pandang kita terhadap dunia sudah ditentukan demikian (deterministik).
Konsep kita tentang alam semesta hanya mampu memahami sesuatu yang ada, dan merunutnya kepada sesuatu yang telah ada sebelumnya; namun, kita tidak tahu penyebab terakhir yang bekerja di alam, sebab hal tersebut sudah melampaui kisaran akal kita dan berada di luar ranah pengetahuan manusia.
Setiap pencarian kebenaran secara ilmiah, cepat atau lambat, pasti akan berakhir pada sesuatu yang harus diterima dianggap sebagai given (sudah dari sananya begitu). Penelitian ilmiah tidak akan mampu sepenuhnya memberi jawaban terhadap teka-teki alam raya. Pencarian pengetahuan pasti akan ‘mentok’. Dalam ilmu pengetahuan ilmiah, kementokan ini hanya bisa diterima dengan kejujuran sebagaimana adanya.
Akal kita mampu menangkap hubungan/kondisi negasi; dengan demikian kita dapat memahami ketiadaan sebagai lawan dari keberadaan, atau non-eksistensi sebagai lawan dari eksistensi. Namun, akal tidak mampu menangkap negasi yang sifatnya absolut. Ini berlaku bagi apapun; hal ini sudah berada di luar pemahaman akal. Gagasan tentang pemunculan sesuatu dari ketiadaan, misalnya, atau gagasan tentang adanya awal yang absolut, tidak mampu dikonfirmasi atau ditolak oleh akal kita.
Akal kita juga tidak mampu memberi makna absolut yang obyektif terhadap terminologi ciptaan akal kita sendiri, semacam: sempurna, absolut, atau Maha. Sejak semula peristilahan ini adalah problem linguistik akibat keterbatasan sistem konvensi bahasa manusia itu sendiri dan/atau akibat universalisme subyektivitas nilai di dalam manusia. Dengan demikian, akal kita tidak mampu mencerna adanya sesuatu yang berasal dari ketiadaan yang lalu memengaruhi alam semesta dari luar (from without).
Dengan menyingkapkan batas-batas kemampuan akal kita seperti dinyatakan di atas, meskipun serba singkat dan terbatas, posisi akal kita terkait pertanyaan-pertanyaan ultimat seputar ketuhanan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Akal manusia tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan ultimat tersebut di atas. Seandainya kesimpulan ini keliru, yang langsung berarti bahwa akal mampu menjawabnya, maka seluruh penduduk dunia saat ini semuanya akan meyakini keberadaan Tuhan sebagai fakta empiris sebagaimana keberadaan matahari di atas sana; atau justru sebaliknya. Logika adalah bahasa universal, sebagaimana seluruh manusia di bumi ini menerima bahwa 1+1=2. Atau harus menolak identitas semacam A=non-A.
Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa logika semata tidak mampu menggugurkan ataupun mengukuhkan inti dari ajaran-ajaran teologis. Ini bukan serangan terhadap akal ataupun logika. Pengerahan akal melalui logika bermanfaat untuk telah, sedang dan akan terus menyingkap berbagai kekeliruan dalam perumusan maupun penyimpulan persoalan teologis tersebut, di samping juga membongkar ribuan atau bahkan jutaan mitos, sihir, takhayul, dan berbagai praktik supranatural lainnya.
Keterbatasan atau ketidakmampuan akal dalam menangkap sesuatu tidak dengan sendirinya menegasikan keberadaan sesuatu tersebut. (Selama ribuan tahun manusia tidak mengenal adanya bakteri yang telah menyebabkan begitu banyak kematian manusia. Ketidaktertangkapan bakteri sebagai konsep maupun secara indrawi tidak meniadakannya.)
Keterbatasan akal manusia dalam memahami hal-hal fundamental tersebut jelas meninggalkan wilayah abu-abu yang luas menganga. Mungkin ini ruang yang cocok bagi pemanjatan doa-doa oleh para “Pemilik Teguh” (meminjam bait Bung Chairil Anwar). Yang pasti, atas dasar konsistensi, ruang eksklusif tersebut tidak dapat diakses oleh mereka yang menolak percaya.
Oleh: Sukasah Syahdan
Semua manusia itu atheis.
Tepatnya, kita semua pernah jadi atheis. Paling tidak, pada dan untuk suatu saat, yaitu di masa-masa pranatal, bayi atau kanak. Ketika peranti dan daya nalar belum sepenuhnya berkembang, jangankan memikirkan keberadaanNya; memikirkan keberadaan sesuatu yang agak hangat di balik popok yang tiba-tiba lembab saja kita tidak kuasa.
Saat sistem tersebut mematang, barulah sedikit demi sedikit kita bisa mempertanyakan hal-hal mendasar tentang diri kita, tentang alam raya dan seisinya, tentang penciptaannya sekaligus tentang Sang Pencipta.dan pertanyaan ultimatnya adalah: (Ti)adakah Tuhan itu? Bisakah kita membuktikannya dengan akal?
Pertanyaan semacam ini sepertinya sudah dikekalkan sebagai pertanyaan; dia telah, sedang, dan akan terus dipertanyakan umat manusia di sepanjang jaman dan peradaban. Sudah sepantasnya Jurnal ini berkepentingan dengan isu yang satu ini, sebab namanya juga Akal dan Kehendak. Artikel ini saya tulis untuk mengawali pembahasan selanjutnya, kapan-kapan. Tujuan saat ini: memastikan posisi akal dengan setepat-tepatnya, terkait satu persoalan terpenting dalam hidup. Apakah pertanyaan-pertanyaan di atas akan tetap kekal tulisan ini selesai dibaca? Kita akan menjawabnya.
Salah satu argumen logis seputar keberadaan Tuhan menyatakan bahwa semua yang ada di alam pasti muncul lewat proses penciptaan. Proses ini dianggap telah terjadi dengan sendirinya, atau sebagai akibat dari rancangan yang disengaja.
Mereka yang percaya pada proses penciptaan mengatakan, semuanya berakhir pada konsep prima causa–atau konsep tentang keberadaan Sang Maha Pencipta dari segala pencipta dan segala penciptaan di seluruh alam raya. Orang yang dapat menerima konsep ini berpeluang besar untuk menerima keberadaan Tuhan. Sementara bagi yang tidak menerima, mereka harus terus mencari landasan keyakinan.
Selain itu, ada pula argumentasi yang menyatakan: Tuhan menciptakan alam semesta beserta segala isi dan isunya. Apa artinya ini? Artinya Ia tidak termasuk di/ke dalam alam semesta. Sebelum penciptaan dilakukan, Ia mestinya berada di luar alam raya. Lalu di manakah Ia pada saat itu? Dan di manakah Ia berada sekarang?
Kalau Tuhan dikatakan telah menciptakan semesta dari ketiadaan yang absolut, bukankah Tuhan termasuk dalam ketiadaan tersebut, sehingga ketiadaan tersebut tidak bermakna sebagaimana seharusnya? Jika orang menerima premis-premis minor tersebut, besar kemungkinan ia akan tiba pada premis akhir yang menolak keberadaan Tuhan. Namun, jika ia menolak premis-premis tersebut, tidak ada jalan lain, kecuali bahwa ia harus menunda kesimpulannya untuk sementara sambil mencari premis-premis logis lain yang harus tidak disangkalnya di muka.
Pertanyaannya: apakah theisme dan atheisme kita perlu dipergantungkan pada premis logis? Dalam hemat saya, ya. Karena ini tuntutan akal–berkah yang amat berharga dariNya (bagi yang percaya, tentunya). Asal mula penciptaan akal kita seharusnya, tanpa kontradiksi, berasal dari kekuatan yang menciptakan alam raya.
Mereka yang 1/2 percaya dan separuh tidak percaya mungkin akan bertanya: kalau Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, mengapa Ia yang juga Maha Mengetahui segala plot kejahatan, kebejatan dan kesengsaraan yang telah sedang dan akan dialami manusia, tidak melakukan apa-apa? Bagaimana menyikapi proposisi-proposisi logis yang provokatif semacam ini? Di mana tempat doa dalam konstruksi kejadian peristiwa-peristiwa?
Satu hal yang ingin saya tawarkan lewat tulisan ini adalah memahami dengan lebih baik karakteristik dan batas-batas kemampuan akal manusia. Dengan memahami sampai seberapa jauh akal kita dapat mencerna persoalan teologis ini, kita setidak-tidaknya dapat menghemat sumber daya.
Taruhlah pada titik ini, kita terima dulu tanpa analisis lebih jauh, bahwa akal manusia tidak dapat menjawab tuntas Rahasia Besar dalam hidup. Tapi tentunya kita punya rasa, punya kemampuan, punya pengalaman, dan punya peluang besar untuk mengetahui secara relatif lebih meyakinkan tentang batas-batas akal kita sendiri.
Sebab, kenapa tidak? Bukankah akal sesuatu yang ada pada kita? Jawaban terhadap batas-batasnya seharusnya tidak sesulit mempertahankan karya skripsi; dia seharusnya sesuatu yang amat intuitif. Jadi, mari kita bahas batas-batas akal. Sebelumnya, kita perlu membuat batasan atau definisinya.
Apakah akal itu? Akal di sini saya definisikan sebagai kemampuan (faculty) kita untuk mencerna, mengenali, mengidentifikasi, serta memadukan semua materi (‘informasi’) yang kita peroleh melalui panca indra. Ini definisi obyektivis yang saya kira cukup aman dan dapat kita terima.
Akal mengintegrasikan persepsi kita dengan jalan membentuk abstraksi atau konsepsi, sehingga kita bisa meningkatkan pengetahuan dan pemahaman kita dari tingkat yang tadinya semata perseptual (sebagaimana halnya yang dialami hewan), ke tingkat konseptual, yang hanya dapat dicapai oleh otak manusia. Metode yang dipakai akal kita dalam proses ini adalah logika. Logika adalah semacam seni mengidentifikasi sesuatu dengan cara yang tidak kontradiktif.
Terkait pemanfaatan akal dalam pencarian kebenaran dan pengetahuan, baik yang teologis maupun yang ilmiah, berikut ikhtisar singkat saya dari sudut pandang praksiologis (kajian tentang tindakan manusia):Jika kita merunut semua kejadian di alam raya, maka upaya ini akan membawa kita kepada proses regresi ad infinitum hingga ke titik awal terciptanya waktu. sejauh akal dipergunakan, konsep kita tentang waktu tidak final. Kita tidak mampu menangkap awal ataupun akhir dari waktu itu sendiri. Dalam konteks ini, boleh dikatakan bahwa cara pandang kita terhadap dunia sudah ditentukan demikian (deterministik).
Konsep kita tentang alam semesta hanya mampu memahami sesuatu yang ada, dan merunutnya kepada sesuatu yang telah ada sebelumnya; namun, kita tidak tahu penyebab terakhir yang bekerja di alam, sebab hal tersebut sudah melampaui kisaran akal kita dan berada di luar ranah pengetahuan manusia.
Setiap pencarian kebenaran secara ilmiah, cepat atau lambat, pasti akan berakhir pada sesuatu yang harus diterima dianggap sebagai given (sudah dari sananya begitu). Penelitian ilmiah tidak akan mampu sepenuhnya memberi jawaban terhadap teka-teki alam raya. Pencarian pengetahuan pasti akan ‘mentok’. Dalam ilmu pengetahuan ilmiah, kementokan ini hanya bisa diterima dengan kejujuran sebagaimana adanya.
Akal kita mampu menangkap hubungan/kondisi negasi; dengan demikian kita dapat memahami ketiadaan sebagai lawan dari keberadaan, atau non-eksistensi sebagai lawan dari eksistensi. Namun, akal tidak mampu menangkap negasi yang sifatnya absolut. Ini berlaku bagi apapun; hal ini sudah berada di luar pemahaman akal. Gagasan tentang pemunculan sesuatu dari ketiadaan, misalnya, atau gagasan tentang adanya awal yang absolut, tidak mampu dikonfirmasi atau ditolak oleh akal kita.
Akal kita juga tidak mampu memberi makna absolut yang obyektif terhadap terminologi ciptaan akal kita sendiri, semacam: sempurna, absolut, atau Maha. Sejak semula peristilahan ini adalah problem linguistik akibat keterbatasan sistem konvensi bahasa manusia itu sendiri dan/atau akibat universalisme subyektivitas nilai di dalam manusia. Dengan demikian, akal kita tidak mampu mencerna adanya sesuatu yang berasal dari ketiadaan yang lalu memengaruhi alam semesta dari luar (from without).
Dengan menyingkapkan batas-batas kemampuan akal kita seperti dinyatakan di atas, meskipun serba singkat dan terbatas, posisi akal kita terkait pertanyaan-pertanyaan ultimat seputar ketuhanan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Akal manusia tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan ultimat tersebut di atas. Seandainya kesimpulan ini keliru, yang langsung berarti bahwa akal mampu menjawabnya, maka seluruh penduduk dunia saat ini semuanya akan meyakini keberadaan Tuhan sebagai fakta empiris sebagaimana keberadaan matahari di atas sana; atau justru sebaliknya. Logika adalah bahasa universal, sebagaimana seluruh manusia di bumi ini menerima bahwa 1+1=2. Atau harus menolak identitas semacam A=non-A.
Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa logika semata tidak mampu menggugurkan ataupun mengukuhkan inti dari ajaran-ajaran teologis. Ini bukan serangan terhadap akal ataupun logika. Pengerahan akal melalui logika bermanfaat untuk telah, sedang dan akan terus menyingkap berbagai kekeliruan dalam perumusan maupun penyimpulan persoalan teologis tersebut, di samping juga membongkar ribuan atau bahkan jutaan mitos, sihir, takhayul, dan berbagai praktik supranatural lainnya.
Keterbatasan atau ketidakmampuan akal dalam menangkap sesuatu tidak dengan sendirinya menegasikan keberadaan sesuatu tersebut. (Selama ribuan tahun manusia tidak mengenal adanya bakteri yang telah menyebabkan begitu banyak kematian manusia. Ketidaktertangkapan bakteri sebagai konsep maupun secara indrawi tidak meniadakannya.)
Keterbatasan akal manusia dalam memahami hal-hal fundamental tersebut jelas meninggalkan wilayah abu-abu yang luas menganga. Mungkin ini ruang yang cocok bagi pemanjatan doa-doa oleh para “Pemilik Teguh” (meminjam bait Bung Chairil Anwar). Yang pasti, atas dasar konsistensi, ruang eksklusif tersebut tidak dapat diakses oleh mereka yang menolak percaya.