Masyarakat Indonesia kembali akan melaksanakan sebuah “hajat besar” politik di tahun 2009, dimana seluruh rakyat akan memberikan hak politiknya dalam pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu). Mekanisme demokrasi konstitusional ini akan digelar dan diuji sesuai fungsi dan asasnya. Apakah Pemilu 2009 masih dapat menjadi harapan bagi perubahan Indonesia yang lebih baik? Apakah rakyat Indonesia masih antusias serta puas terhadap seluruh tahap pelaksanaannya ? Dan yang terpenting apakah partai politik (parpol) peserta pemilu masih dapat berperan sesuai dengan fungsinya?
Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 7 Juli 2008 lalu menetapkan 34 parpol nasional dan 6 parpol lokal di Aceh yang dapat mengikuti pemilu 2009, maka masyarakat Indonesia lagi-lagi dihadapkan pada pilihan-pilihan parpol yang nantinya diharapkan dapat menjawab persoalan dan harapan-harapan para pemilihnya. Hak politik masyarakat ini akan diwujudkannya pada hari pemilihan umum tanggal 9 April 2009 nanti.
Sebagian besar masyarakat awalnya berharap jumlah parpol tidak sebanyak saat pemilu 1999 maupun pemilu 2004. Saat itu pemilu 1999 diikuti oleh 48 parpol, dan pada pemilu 2004 peserta pemilu menjadi 24 parpol. Namun, kini ada 34 parpol nasional yang akan menjadi peserta Pemilu 2009 nanti. Pada pesta demokrasi ini tentunya rakyat berharap banyak pada parpol sebagai institusi politik yang dapat membawa perubahan yang lebih baik.
Harapan akan perubahan itu seperti mudahnya rakyat mencukupi kebutuhan hidupnya, harga sembako yang terjangkau, biaya pendidikan yang murah sehingga anak-anaknya dapat sekolah, biaya kesehatan yang murah atau bahkan gratis, rakyat mendapat kebebasan mengeluarkan pendapat atau berorganisasi dan masih banyak lagi harapan dari rakyat ini yang menjadi tanggung jawab parpol di tengah himpitan hidup yang semakin berat.
Pelaksanaan pemilu kini sudah memasuki tahapannya, mulai 12 Juli 2008 parpol sudah dapat melakukan kampanye, dan ini merupakan tahapan kampanye parpol terpanjang selama pelaksanaan pemilu yang pernah ada di Indonesia. Pemilu 2009 masih menyimpan sebuah tantangan dan tanggung jawab bagi perubahan Indonesia yang lebih baik, sebab pemilu 2009 nanti diharapkan akan melahirkan pimpinan nasional dan para wakil rakyat yang siap membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Selama ini parpol hanya merupakan alat mobilisasi massa, perekrutan, dan sosialisasi calon anggota legislatif, menjadi saluran kekuasaan (channel of power), tetapi belum menjadi sumber identitas politik para pemilihnya. Parpol menjadi terkesan hanya mengejar kekuasaan baik di legislatif maupun di eksekutif tanpa melihat dan memperjuangkan apa yang rakyat atau para pemilihnya inginkan. Belum lagi jika menyoroti prilaku politisi parpol di parlemen. Ini dikaitkan dengan ‘trend’ pencokokan sejumlah politisi partai yang tersangkut perkara korupsi oleh KPK. Fenomena ini semakin memperburam potret partai politik yang idealnya dapat memainkan peran baik sebagai agregasi maupun artikulasi konstituennya
Untuk itu, Pemilu 2009 diharapkan dapat menjadi saluran kontrol masyarakat atas parpol. Masyarakat saat ini lebih cerdas dan selektif terhadap parpol yang ada. Sebagai warga negara yang demokratis, para pemilih bukan hanya akan antusias mendukung parpol atau capres, tetapi juga dapat memilih untuk tidak memilih lagi parpol dan/atau capres yang kinerja politiknya buruk.
Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 7 Juli 2008 lalu menetapkan 34 parpol nasional dan 6 parpol lokal di Aceh yang dapat mengikuti pemilu 2009, maka masyarakat Indonesia lagi-lagi dihadapkan pada pilihan-pilihan parpol yang nantinya diharapkan dapat menjawab persoalan dan harapan-harapan para pemilihnya. Hak politik masyarakat ini akan diwujudkannya pada hari pemilihan umum tanggal 9 April 2009 nanti.
Sebagian besar masyarakat awalnya berharap jumlah parpol tidak sebanyak saat pemilu 1999 maupun pemilu 2004. Saat itu pemilu 1999 diikuti oleh 48 parpol, dan pada pemilu 2004 peserta pemilu menjadi 24 parpol. Namun, kini ada 34 parpol nasional yang akan menjadi peserta Pemilu 2009 nanti. Pada pesta demokrasi ini tentunya rakyat berharap banyak pada parpol sebagai institusi politik yang dapat membawa perubahan yang lebih baik.
Harapan akan perubahan itu seperti mudahnya rakyat mencukupi kebutuhan hidupnya, harga sembako yang terjangkau, biaya pendidikan yang murah sehingga anak-anaknya dapat sekolah, biaya kesehatan yang murah atau bahkan gratis, rakyat mendapat kebebasan mengeluarkan pendapat atau berorganisasi dan masih banyak lagi harapan dari rakyat ini yang menjadi tanggung jawab parpol di tengah himpitan hidup yang semakin berat.
Pelaksanaan pemilu kini sudah memasuki tahapannya, mulai 12 Juli 2008 parpol sudah dapat melakukan kampanye, dan ini merupakan tahapan kampanye parpol terpanjang selama pelaksanaan pemilu yang pernah ada di Indonesia. Pemilu 2009 masih menyimpan sebuah tantangan dan tanggung jawab bagi perubahan Indonesia yang lebih baik, sebab pemilu 2009 nanti diharapkan akan melahirkan pimpinan nasional dan para wakil rakyat yang siap membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Selama ini parpol hanya merupakan alat mobilisasi massa, perekrutan, dan sosialisasi calon anggota legislatif, menjadi saluran kekuasaan (channel of power), tetapi belum menjadi sumber identitas politik para pemilihnya. Parpol menjadi terkesan hanya mengejar kekuasaan baik di legislatif maupun di eksekutif tanpa melihat dan memperjuangkan apa yang rakyat atau para pemilihnya inginkan. Belum lagi jika menyoroti prilaku politisi parpol di parlemen. Ini dikaitkan dengan ‘trend’ pencokokan sejumlah politisi partai yang tersangkut perkara korupsi oleh KPK. Fenomena ini semakin memperburam potret partai politik yang idealnya dapat memainkan peran baik sebagai agregasi maupun artikulasi konstituennya
Untuk itu, Pemilu 2009 diharapkan dapat menjadi saluran kontrol masyarakat atas parpol. Masyarakat saat ini lebih cerdas dan selektif terhadap parpol yang ada. Sebagai warga negara yang demokratis, para pemilih bukan hanya akan antusias mendukung parpol atau capres, tetapi juga dapat memilih untuk tidak memilih lagi parpol dan/atau capres yang kinerja politiknya buruk.
Masyarakat kini juga dapat melihat mana parpol dan politisi yang baik yang memiliki kontribusi positif (positive contribution) dan mana yang parpol dan politisi busuk yang hanya dapat memberikan kontibusi negatif (negative contribution) bagi negara ini. Melihat dari beberapa pemilihan kepala daerah (Pilkada) misalnya yang telah dilakukan, muncul fenomena yang cukup menarik dari sikap masyarakat yang memilih untuk tidak memilih dalam proses pemilihan kepala daerah. Hal ini bisa dimaklumi, di saat masyarakat kembali mempertanyakan peran dan fungsi dari parpol maupun para elit politik. pbhi jakarta